NLP Dalam Hidup Saya

Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan

Sudah hampir 5 tahun sejak pertama kali saya mengenal NLP. Sebuah masa yang pendek jika dilihat dari angkanya, sekaligus panjang saat dirunut tiap detik yang ada di dalamnya. Betapa tidak? Begitu banyak hal—hal-hal yang belum pernah terpikir oleh saya sebelumnya—terjadi ketika saya belajar dan mempraktikkan NLP secara serius.

Wah, kok kayaknya canggih betul ya? Apa iya begitu?

Ah, setelah membaca artikel ini sampai habis, simpulkan saja sendiri deh.

Setidaknya sampai saat ini, saya sudah mengalami beberapa fase dalam proses belajar NLP dan saudaranya, hipnosis. Pertama adalah fase skeptis, kedua fase terkejut, ketiga fase fanatik, keempat fase frustasi, dan kelima fase biasa-biasa saja.

Loh, kok yang terakhir, berarti yang sekarang, malah biasa-biasa saja sih?

Hmm…sebentar lagi Anda akan tahu, kok.

Fase pertama, skeptis. Fase ini adalah fase saat saya pertama kali menemukan buku “NLP: New Technology for Achievement” karya para guru di NLP Comprehensive sana. Sementara waktu itu saya menemukan bahwa ilmu ini unik sebab memiliki cara pandang yang radikal terhadap terapi, pola pikir didikan dunia akademis yang kuat dengan tradisi penelitian empirik rupanya tanpa sadar membuat saya mengerutkan dahi. “Masuk akal sih, tapi…”, begitu lah kira-kira respon awal saya saat membaca bahwa kunci solusi terhadap permasalahan psikologis bukanlah terletak pada konten sebuah masalah, melainkan pada strukturnya. Dengan kata lain, sebuah masalah menjadi masalah bukan karena masalah itu sendiri, melainkan karena strukturnya ketika disimpan dalam pikiran dan perasaan kita.

Wuih, gimana nggak skeptis. La wong selama 3 tahun kuliah saya diajarkan (atau mempelajari?) untuk menyelami sebuah masalah. Masak dengan begitu mudah dikatakan bahwa kuncinya bukan menyelam, melainkan justru dengan menjadi pengamat di atas perahu?

Maka NLP pun menjadi sebuah kosa kata yang menggelitik untuk saya cari tahu duduk perkaranya. Penelusuran demi penelusuran saya lakukan, sampai akhirnya saya pun mendapati bahwa kunci dari memahami NLP bukanlah terletak pada pencarian intelektual semata, melainkan pada praktik secara aktif guna merasakan sendiri manfaatnya.

Nah, di titik inilah saya memasuki fase kedua, terkejut. Terkejut, sebab rasa skeptis saya seketika runtuh, begitu saya berhasil mengedit sebuah memori rasa kesal menjadi rasa geli hanya dengan menggunakan submodality re-map (meminjam istilah Pak Kiai Ronny). “Weleh, ternyata bisa loh!” ujar saya waktu itu. Maka eksperimen demi eksperimen terhadap diri sendiri (dan beberapa rekan yang sama-sama bersedia menjadi ‘korban’) pun dilakukan sampai saya menemukan 2 pembelajaran baru. Pertama, NLP itu benar-benar works lho (nggak penting banget ya?). Kedua, saya jadi tahu bahwa yang namanya kebenaran itu luas. Bahwa yang namanya ilmiah itu adalah sebuah comparative deletion yang begitu dicermati dengan menampilkan pembanding yang berbeda, maka berbeda pula maknanya. Ilmiah bukanlah soal meneliti dengan metode penelitian dan melakukan analisa kuantitatif semata. Ilmiah adalah usaha untuk menemukan what really works. “Sebab sesuatu yang tidak operasional, juga ndak bisa dibilang ilmiah,” ujar salah seorang guru saya.

Maka fase terkejut pun berlanjut kepada fase fanatik, ketika hari demi hari saya merasakan sendiri hidup dan kehidupan saya berubah. Saya mulai berani bermimpi sekaligus berani mencurahkan energi untuk sesuatu yang bernama mimpi itu. Rasa takut seolah lenyap, berganti dengan harapan dan optimisme. “Anything is possible! Go for it!” adalah kata-kata favorit saya. Anda tidak akan pernah tahu apa yang bisa Anda lakukan, kecuali Anda sudah mencobanya sendiri. Tidak ada batasan dalam hidup, selain batasan yang Anda buat sendiri.

Demikianlah beberapa potongan hikmah yang saya temukan di fase fanatik ini. NLP seolah menjadi pil ajaib bagi saya. Semua yang bisa saya pikirkan berarti bisa saya raih. Hajar bleh! Yes, yes, yes!

Sampai…beberapa ‘kegagalan’ muncul. Beberapa, tidak banyak. Bahkan, sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan keberhasilan yang saya peroleh. Hanya saja, ‘kegagalan’ itu adalah hal yang benar-benar saya inginkan. Yang intensitas emosinya saya set begitu tinggi. Yang curahan energinya begitu besar. Maka ketika ia ‘tidak’ tercapai, syuuuuuut…terjun bebas. He..he..he..

Inilah yang saya sebut dengan fase frustasi. Potongan-potongan kalimat-kalimat favorit tadi pun bermunculan dalam benak saya, terdengung di telinga saya, dan terasa berbeda dalam dada saya. Kalimat-kalimat tersebut tetap bagus, hanya ia belum lengkap. Ia seolah diambil sebagai sebuah potongan, sementara potongan lainnya hilang atau masih tertutup.

Sempat saya merasa frustasi, namun tidak lama. Sebab setelah itu rasa syukur lah yang muncul.

Kok?

Ya, karena sementara saya menyadari bahwa ada begitu banyak hal dalam diri saya yang mengalami perubahan sejak mempraktikkan NLP, ada pula hal-hal lain yang terabaikan. Ada sisi dalam diri saya yang ‘kering’, sehingga alih-alih menjadi semakin ekologis, hidup saya justru timpang. Sebuah keberhasilan justru seolah menghadirkan ‘kegagalan’ di sisi yang lain. Saat saya mampu membangun sebuah proses komunikasi dengan efektif dengan menggunakan NLP, misalnya, justru rasa berdosa seringkali muncul sebab merasa sudah memanipulasi orang lain. Saat saya membantu seseorang menghilangkan rasa bersalahnya, sebuah suara seperti menegur, “Bagaimana jika ia nanti jadi sembrono?” Dan yang jauh lebih penting adalah ketika saya bicara soal mencapai impian. Setiap kali saya menggunakan wellformed outcome, plus memasukkannya dalam time line saya, sebuah nasihat hadir dalam hati saya, “Apakah kamu mau mengatur apa yang yang sudah diatur oleh Tuhan?”

Wuih, yang terakhir ini nih, yang rasanya nancep bener. Belajar NLP, memang menjadikan saya begitu percaya diri dengan kemampuan diri saya. Lucunya, saya jadi lupa bahwa kemampuan ini, sejatinya adalah kemurahan dari Sang Maha Pencipta. Mengapa saya dilahirkan dalam keluarga saya sekarang? Mengapa saya diberi berbagai kemudahan untuk belajar? Mengapa saya tidak harus menjalani kehidupan yang keras di jalanan, sehingga saya terdidik sebagai orang sekolahan?

Nah, pertanyaan-pertanyaan itu lah antara lain yang meruntuhkan ‘kesombongan’ saya saat saya merasa bahwa nasib saya hanya ditentukan oleh usaha saya sendiri. Betapa kemampuan diri ini begitu kecil dibandingkan kemurahan dan pengaturan-Nya. Ketika saya ingat pernah mengatakan, “Tuh kan, orang itu berhasil saya pengaruhi dengan teknik X,” saya lupa bahwa itu pun bagian dari pengaturan-Nya yang begitu halus dan harmonis. Maka saat saya beberapa kali mengalami gempa bumi, yang dengan mudah saya atasi rasa traumanya dengan submodality map accross, sebuah pelajaran pun terkuak, “Mengapa saya masih bisa melakukan hal ini? Mengapa saya tidak tertimpa bangunan dan tewas seketika? Mengapa orang lain yang menjadi korban, dan bukan saya?”

Fiuh, betapa diri yang membanggakan diri sebagai praktisi NLP ini begitu tak berdaya jika Ia sudah berkehendak. Rupanya ilmu dalam diri ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan ilmu-Nya yang lebih luas dari langit dan bumi. Saya sudah percaya pelajaran ini sejak dahulu, namun baru kali ini saya mulai meyakininya, setelah submodality saya diubah tidak melalui proses teknis NLP, melainkan melalui pengalaman langsung yang sudah diatur oleh-Nya.

Inilah fase biasa-biasa saja yang saya maksud tadi. Fase ketika NLP ya NLP. Bagian kecil dari ilmu Tuhan yang tak terhingga. Ia jelas bukan ilmu biasa, sekaligus juga bukan ilmu yang teramat luar biasa. Ia adalah ilmu yang dihadirkan untuk menyingkapkan sebagian kecil dari kuasa-Nya. Maka jika dengan mempraktikkan NLP hidup jadi lebih mudah, sejatinya diri ini menyadari bahwa Ia lah yang telah menyingkapkan kemudahan itu. Sementara jika ‘kegagalan’ yang muncul, sesungguhnya Ia sedang mengajarkan diri ini untuk terus mengambil pelajaran (feedback), tidak cepat puas, mengendalikan nafsu untuk sombong, dan senantiasa mendekat kepada-Nya. Sebab sesungguhnya bukanlah NLP yang menghadirkan solusi, melainkan ilham yang Ia berikanlah yang menghadirkan solusi. Bukankah banyak orang yang tidak tahu-menahu tentang NLP mampu menemukan solusi sebaik para praktisi NLP? Bukankah NLP adalah hasil memodel para expert? Lalu, siapa yang menghadirkan para expert itu? Siapa yang mengatur mereka hidup sehingga bisa dimodel dan dipelajari oleh banyak orang?

Demikianlah, tiada lain selain rasa syukur, yang layak saya pelihara demi mendapati jalan yang telah diberikan Tuhan untuk menjadi praktisi NLP. NLP adalah ilmu untuk bersyukur. Sebab ‘kendali’ yang seolah kita miliki sebagai praktisi NLP terhadap nasib, sejatinya bukanlah benar-benar kendali. Kendali itu adalah kendali semu, sebab tiada satu pun hal yang terjadi di dunia ini kecuali atas izin-Nya. Kendali tersebut adalah kendali untuk mencari makna agar setiap hal hanya memunculkan 2 respon: sabar dan syukur. Sabar, ketika ia bukanlah sesuatu yang kita inginkan. Syukur, ketika ia adalah sesuatu yang kita inginkan.

Caranya? Bertebaran dalam NLP. Silakan mulai telusuri dari SINI.

Maka indikator baru yang bisa saya simpulkan dari seorang praktisi NLP tulen adalah sedalam apa rasa syukurnya, sepanjang apa rasa sabarnya. Sungguh, bukanlah sebuah kebetulan jika Anda sudah membaca sampai sejauh ini. Jauh sebelum Tuhan mengilhamkan ide penulisan dalam pikiran saya, jauh sebelum jari-jemari ini begitu lancar menulis, jauh sebelum saya menggunakan NLP untuk menyusun tulisan seperti ini, peristiwa ini sudah tertulis dalam catatan-Nya. Maka kemampuan saya ini adalah amanah, begitu juga dengan pemahaman yang baru saja Anda dapatkan.

Selamat menjalankan amanah.

Spread the love

7 thoughts on “NLP Dalam Hidup Saya

  1. Alhamdulillah…

    Menjadi tenang pikiran dan perasaan saya setelah baca artikel mas ini.
    Tadinya menggebu2 banget pengen tau NLP, emosional banget,…pokoknya yg banget2 deh.

    SYUKUR…saya diberi open mind olehNYa untuk menerima secuil cuilnya pengetahuan yg berasal dariNya, dan…
    SYABAAAR…..dalam belajar dan.. sabaar.. ngumpulin duit buat ikut seminar/pelatihan NLP, biar bisa lebih bersyukur lagi. Syukur syukur kalo ada yang murah banget biayanya.

    Keep writing and sharing ya mas

    DEDI

  2. Pak Teddi,

    Banyak sekali yg sy dapat dari artikel Bapak, sulit saya gambarkan lg.
    Hanya mengucapkan terima kasih & Allah SWT selalu melindungi kita semua, aminn

    SATIBI bin HASAN

  3. Assalamualaikum

    Semakin hari semakin penasaran saja. Berawal dari keinginan menenangkan diri dari segala sesuatu gejala kehidupan yang membuat stress diri. ketika itu menemukan situs tentang kekuatan pikiran, kekuatan berpikir positif sehingga teraplikasi menjadi sebuah kenyataan yang membahagiakan. Betapa inginnya seperti itu.
    kemudian menggali dan menggali,..ternyata ilmu hipnosis, kemudian cari sumber,..hipnosis, hipnoterapi dll, mencari jawaban menurut islam,..ditemukan jawaban yang menjurus ke mistik,..ternayata jawaban itu tidak 100 % benar. ditelusuri ternyata ini adalah ilmu, ilmiah,..jauh dari unsur mistik. ini bukan tradisional. Hypnosis modern menyadarkan saya bahwa pikiran bawah sadar akan menuntun kepada pengetahuan yang bakal mendekatkan diri kepada NYA.
    akhirnya nyemplung ke situs ini,…ada lagi namanya NLP. apakah NLP? semakin ingin mengetahui saja dan ingin mempelajarinya.terima kasih artikel ini telah membuka saya untuk selalu sabar, tawakal, yakin, optimis, semangat dan bekerja optimal.salam.

  4. Puji semata bagiNya, yang telah menunjukkan contoh padaku, tentang kesungguhan. Kesungguhan mengkaji rahasiaNya dan kesepenuhhatian menjalani ujianNya yang terkandung didalam jalan yang ditempuhnya. Ujian2 berat untuk tetap istiqomah memilih berpeduli dan menyungguhi bersedia mengalami kebimbangan yang berkecamuk hebat, dan kesungguhan memimpin diri untuk selalu memilih untuk tetap peduli, dan untuk keep on the track tidak meninggalkan arena. SubhanalLah. Ditangan NLP-er seperti ini insyaalLah akan semakin terkuak kebenaran bahwa puncak ketinggian adalah perserahan diri. Perserahan diri adalah tinggi dan tidak ada yang menandingi. Al islamu ya’lu, wa laa yu’la alaih. Keep stepping, keep taking care. Please let me follow. Yours,wwd.

  5. Subhanallah..saya menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya setela ikut Lisenced Practitioner…
    Makasih mas Tedi, saya di Yayasan Nurul Hayat (nurulhayat.org) bergerak di lembaga dakwah (Lembaga Amil Zakat) di Surabaya..suatu saat saya ingin ada kesempatan mas Teddy bersedia berbagi kepada kami dan komunitas dakwah kami..

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *