Menyemai Cinta

“Cinta adalah buah dari mencintai. Bibitnya adalah ikhlas. Bunganya adalah rindu.”

“Wit ing trisno,” nasihat orang tua Jawa, “jalaran sako kulino.” Dengan bahasa mudah, dikatakan bahwa pohon cinta tumbuh karena terbiasa. Cinta menurut ajaran ini, diibaratkan seperti pohon. Layaknya pohon, agar kita dapat nikmati buahnya, perlu lah kita tanam bibit nan baik, merawatnya penuh kesungguhan, menjaganya dari berbagai gangguan, hingga akhirnya buah siap dinikmati di hadapan.

Tak mungkinlah kita nikmati buah cinta, jika tak pernah kita menanam dan merawatnya. Bagaimana dengan membeli buahnya di pasar? Pun ia tetap buah yang ditanam dan dirawat, hanya saja oleh orang lain, hingga kita cukup menukar jasanya lewat pembelian. Tapi hukum alam tetap lah berlaku: tak ada panen sebelum menanam.

Demikianlah nasihat orang tua menjadi semakin terang, bahwa cinta sengaja diumpamakan laksana pohon, sebab ia memang harus ditanam dari bibit yang paling murni: keikhlasan. Hanya ikhlas, yang kan jadikan setiap upaya mencintai dilakukan penuh kesungguhan. Tanpa ikhlas, diri hanya akan hitung-hitungan. Dan apa pula nikmatnya mencintai dengan perhitungan?

Lalu bunganya adalah rindu, sebab tak mungkin seseorang hidup sebagai pecinta, kecuali merasakan rindu setiap saatnya. Kerinduan adalah keniscayaan, dan pertemuan adalah obatnya. Meski tak jarang pecinta sejati, seringkali menyimpan kerinduan, demi perjumpaan yang abadi. Maka bukanlah tak ikhlas pecinta yang merindu. Sebab tak indah pula pohon yang tak berbunga, meski manis buahnya.

Jika demikian adanya, maka cinta bukanlah alasan tuk berleha. Ianya perlu usaha sepenuh peluh, hingga tak sempat mengeluh. Bibit ikhlas jelas bibit unggul yang wajib ditumbuhkan sendiri. Jauh sebelum buahnya layak tuk dinikmati, pelihara lah ia dengan sesungguh hati.

 

Spread the love

2 thoughts on “Menyemai Cinta

Leave a Reply to Agung MSG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *