Akhir pekan lalu, saya bersama beberapa penggiat Indonesia NLP Society menyelenggarakan forum belajar untuk internal, NLP Coach Certification – Accelerated Program. Disebut demikian karena ia memang khusus diadakan bagi penggiat yang telah menguasai NLP, dan ingin merangkainya menjadi sebuah ketarampilan melakukan coaching. Ini adalah pertemuan kedua kami, setelah 2 bulan lalu, dengan durasi 2 hari. […]

Coaching adalah sebuah proses dialog yang terfokus. Maka pertanyaan pertama yang selalu ditanyakan oleh coach pada klien adalah: apa tujuan yang ingin Anda capai? Dan sebagai coach, saya hampir tidak pernah menemui klien mampu menjawab dengan jelas dan spesifik di kesempatan pertama. Apalagi jika sesi itu adalah sesi perdana. Jauh lebih sering jawaban yang meluncur

Coaching Insight #7: Apa yang Benar-benar Jadi Tujuan?Read More »

Beberapa tahun memfasilitasi organisasi untuk membenahi budaya mereka menguatkan kesimpulan bahwa kunci utama ada pada kepemimpinan. Jadi paham jika Edgar Schein menjuduli buku fenomenal beliau dengan Organizational Culture and Leadership. Sebab pertama-tama, pemimpin lah yang membentuk budaya, baru kemudian budaya yang akan membentuk bagaimana kepemimpinan dijalankan. Tidak mengherankan pula jika Carolyn Taylor, konsultan spesialis budaya

Coaching Insight #6: Coaching dan Perubahan Budaya OrganisasiRead More »

Saat berbagi tentang coaching, kerap saya dapati pertanyaan dan pernyataan dari sobat-sobat yang mengungkapkan kesulitan mereka menjalankan beberapa kompetensi coaching. “Susah juga ya, nggak boleh ngasih tahu, nggak boleh mengarahkan. La kalau mereka memang perlu pengarahan dan diberi tahu gimana?” tanya mereka. Pertanyaan dan pernyataan senada ini, hemat saya, lahir dari pemahaman yang belum mendalam

Coaching Insight #5: Satu-satunya CaraRead More »

Saya pertama kali mengenal istilah coaching sebagai sebuah proses dan coach sebagai profesi pada sekitaran tahun 2007. Tiga tahun sejak pertama kali belajar NLP. Di tahun itu, saya menemukan beberapa buku tentang coaching, dan mulai mempelajarinya satu demi satu. Berbekal sedikit pemahaman tentang NLP, saya merasa sudah memahami coaching.

Artikel ini merupakan bahasan lanjutan dari artikel “Menyelami Lagi Neuro-Logical Level” (NLL). Dalam artikel tersebut, NLL yang bermula sebagai sebuah model unified theory of NLP, dan berfungsi sebagai sebuah ‘alat diagnostik’ kondisi klien, dapat juga kita gunakan sebagai metode untuk menyusun rencana. Sebuah rencana seringkali tak berjalan sebagaimana mestinya, sebab ia tak selaras dengan lapisan-lapisan

Aplikasi NLL dalam CoachingRead More »

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran saya beberapa waktu belakangan, kala saya mulai intensif menulis tentang coaching. “Bagaimana jika ada seorang datang pada saya, seorang koruptor, dan berminat menjadi klien coaching saya dengan tujuan untuk dapat korupsi lebih banyak dan tanpa ketahuan? Akankah saya terima?” Jawabannya tentu saja tidak. Namun pertanyaan serupa itu menghadirkan

Coaching with The 7 Habits in MindRead More »

NLP, salah satunya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari struktur dari sebuah perilaku. The structure of subjective experience. Maka yang diincar oleh seorang praktisi NLP adalah pola-pola perilaku, alih-alih ‘isi’ atau penyebab dari perilaku tersebut. Pada seseorang yang curhat dengan berkata, “Caranya berbicara membuatku kesal deh!”, praktisi NLP tidak akan bertanya, “Memangnya dia bicara apa? Kapan

NLP itu Coaching Banget, Coaching itu NLP Banget (2)Read More »

Suatu kali, Michaell Hall pernah berkata, “Jika saja dulu NLP memulai dengan coaching—alih-alih terapi—we can own this field.” Kalimat ini bukan tanpa dasar. Ia didasari oleh pengalamannya mengisi sebuah sesi di salah satu konferensi ICF di sebuah negara. Dari sekitar 24 orang yang diundang—kalau saya tidak salah dengar—3 orang di antaranya adalah para coach berbasis

NLP Itu Coaching Banget, Coaching Itu NLP BangetRead More »

“Kita dapat saling memberi bantuan dan dukungan di masa-masa sulit, tapi jangan sedikit pun berpikir bahwa kita akan menyembuhkan saudara atau saudari kita.” “Saat saudara kita dilanda kesulitan, kita semestinya merangkul mereka dan memberi tahu bahwa kita ada untuk menemani mereka—untuk mendengar—tanpa disertai pikiran bahwa mereka adalah ‘proyek’ yang akan kita perbaiki.”