Mengikis Nurani

Sekalipun bukan siswa yang pandai, sejak kecil nilai-nilaiku tidak pernah terlalu buruk. Ya, sedang-sedang saja lah. Dari SD berlanjut ke SMP aku menjalani kehidupan sebagai siswa yang baik (baca: belajar sesuai ketentuan untuk mendapatkan nilai yang bagus). Alhasil, meskipun bukan siswa terbaik, paling tidak aku selalu masuk dalam deretan sepuluh besar.

Perubahan besar terjadi ketika aku SMU. Keasyikan berekstrakurikuler ria membuat frekuensi dan intensitas belajarku menurun. Saat itulah untuk pertama kalinya aku belajar perilaku yang amat nista bagi seorang pelajar: mencontek. Mulai dari mencontek teman (yang dengan sukarela memberikan jawabannya kepadaku) sampai menyalin dari buku pelajaran yang kuletakkan di laci meja. Di kelas 1 aku sempat menyadari bahwa dengan cara seperti ini nilai-nilaiku tidak pernah bagus–tidak pernah aku memperoleh nilai lebih dari 7 untuk setiap ujian yang aku mencontek di dalamnya. Baru di kelas 3 lah akhirnya aku berhasil berhenti selamanya. Mengapa begitu lama? Aku tidak tahu. Hanya rasanya amat sulit untuk keluar dari kebiasaan yang seolah-olah menghisapku dengan amat dalam itu. Tidak peduli betapa orang tuaku banting tulang untuk membiayai sekolahku, tidak peduli betapa keras setiap guru mempersiapkan pelajaran setiap harinya, tidak peduli berapa banyak orang yang berjuang untuk dapat duduk dan belajar di tempat dudukku, aku mencontek kedamaian di masa-masa itu.

Hal yang mirip terjadi kemudian padaku ketika untuk pertama kalinya aku belajar untuk melanggar lampu merah dan berputar arah pada tempat yang tidak diperbolehkan. Hanya jika ada polisi yang tampak mengancam sajalah aku tidak melakukan perilaku terlarang itu. Sebuah perilaku yang amat sulit kuhapuskan meski sudah berlalu bertahun-tahun. Tidak peduli berapa banyak orang yang mungkin celaka karena perilakuku (ditambah akibat yang mungkin timbul pada keluarga mereka) aku tetap melaju dan tersenyum senang ketika berhasil melewatinya dengan ‘selamat’.

Mengenang pengalaman-pengalaman ini membuatku semakin perhatian pada orang-orang di sekelilingku. Para perokok salah satunya. Setiap mereka sudah tahu dan paham betul bahaya yang mengancam dalam setiap hisapannya, namun tidak satu pun yang begitu mudah menghentikannya meski sudah amat ingin. Saking kecanduannya, sudah tidak mengherankan lagi kalau para perokok itu tidak pernah memandang tempat jika ingin melampiaskan hasrat menghisapnya. Di dalam ruangan ber-AC atau angkutan umum yang pengap sekalipun mereka akan menghembuskan asap mematikan itu dengan wajah tampak lega, rileks, santai.

Sama dengan perbuatan baik yang akan membukakan jalan lapang menuju kebijaksanaan, perbuatan buruk akan menjadikan kita masuk semakin dalam pada jurang kenistaan. Sebuah peringatan waspada muncul dalam benakku belakangan: Berhati-hatilah dengan perbuatan buruk, karena ia akan mengikis nuranimu sedikit demi sedikit. Suara lain menyahut: Waspadalah dengan kebiasaan yang sedang kamu pupuk.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *