Aku amat gembira dengan puasa Ramadhan hari pertamaku di tahun ini. Setelah seharian menahan tidak dipusingkan untuk makan dan minum, malam hari ternyata masih menyisakan kenikmatan yang luar biasa ketika beragam makna bermunculan dari berbagai hal yang kulewati di hari itu. Semuanya berawal ketika tanpa sengaja aku melihat judul buku tulisan Hernowo: Spirit Iqra’. Aku memang belum sempat membaca tulisan di dalamnya, namun spirit menulis 30 hari nonstop yang sedang digaungkannya menyentil kepalaku untuk turut ‘membaca’ pengalamanku seharian ini. Sejurus kemudian aku pun mendapati imajinasiku melayang dan turun membawa beberapa serpihan makna.
Ya. Aku menemukan bahwa dengan berpuasa aku turut menjaga keberlangsungan kehidupan di dunia. Bagaimana bisa? Tentu bisa. Begini ceritanya. Agar dapat bertahan hidup, Tuhan menganugerahi alam dengan kemampuan untuk selalu menjaga keseimbangan alias homeostatis kata para cendikiawan. Lihat saja, misalnya, tubuh kita. Akibat kelelahan dan pola hidup serta pola makan yang kurang sehat, tubuh pun merespon dengan menjadikan dirinya sakit flu. Sejumlah ingus pun meler keluar dari hidung disertai bersin atau batuk berdahak demi mengeluarkan beragam virus yang telah menumpuk tak terbendung di dalam tubuh kita. Inilah hasil yang kita dapat ketika kita tidak pernah berolahraga cukup sehingga aneka penyakit yang mustinya dikeluarkan melalui proses olahraga (disamping untuk menjaga stamina juga sih) terus tertimbun dan akhirnya dimuntahkan oleh tubuh kita. Sebuah contoh keseimbangan yang sempurna bukan? Hal yang sama terjadi ketika untuk pertama kalinya seseorang belajar merokok. Jika belum terbiasa, tubuh pasti menolak asap racun itu dengan membuatnya terbatuk-batuk. Karena dibiasakanlah (baca: dipaksakan) tubuh pun akhirnya menurut dan mencoba untuk mencari keseimbangan baru. Hampir semua penyakit yang timbul dalam tubuh kita muncul akibat keseimbangan yang dipaksakan ini.
Bagaimana dengan lingkungan dan masyarakat? Tengoklah dari mulau gempa bumi, longsor, banjir, sampai semburan lumpur. Semuanya hanyalah usaha alam untuk mencari keseimbangan baru. Cermati pula bagaimana peradaban berubah dari generasi ke generasi. Sebuah gaya hidup baru yang pada kemunculan perdananya dicerca dan dimaki toh akhirnya diterima jua setelah secara konsisten dikampanyekan. Jangan lupa pula untuk melihat bagaimana pada akhirnya korupsi, kolusi, dan demonstrasi yang menentang keduanya pun menjadi sesuatu yang biasa, dimaklumi, dan disepelekan.
Sebuah pertanyaan muncul: mengapa alam selalu mencari keseimbangan? Jawabnya sederhana: berada dalam keadaan tidak seimbang itu memakan banyak energi. Cobalah berdiri dengan satu kaki selama 1 menit saja. Bagi kita yang tak terbiasa tentu merupakan suatu siksaan yang luar biasa melelahkan. Demikianlah pula yang terjadi pada alam.
Lalu apa hubungannya dengan puasa? Setidaknya ada beberapa manfaat puasa yang kutemukan dalam rangka menjaga keseimbangan alam. Pertama secara fisik dan kedua secara sosial. Secara fisik, kita sudah tahu bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk tidak puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Dalam hal makanan saja puasa sudah memiliki peran dalam menjaga kuantitas makanan yang dimasukkan ke dalam perut manusia. Jika ada 1 orang dengan porsi makan besar berpuasa selama 30 hari penuh, bayangkan bahan makanan yang dapat dikumpulkan dan dibagikan kepada korban kelaparan di Afrika dengan 1 milyar penduduk bumi yang berpuasa. Setelah 11 bulan hidup dalam ketidakseimbangan, setidaknya ada 1 bulan yang membuat keseimbangan itu kembali. Secara sosial, kita juga paham bahwa esensi puasa justru terletak pada aplikasi menahan diri dalam konteks hubungan antar manusia. Satu orang saja belajar menjadi lebih sabar, lebih pemurah, lebih konsisten; bayangkan lagi bagaimana perdamaian dunia dapat tercipta dengan semua orang berpuasa. Lagi-lagi, setelah 11 bulan berjalan tak tentu arah, puasa memfokuskan kita untuk menjalani ibadah yang amat rahasia sebab tidak seorang pun yang tahu sebaik apa puasa kita kecuali kita sendiri.
Indah bukan? Filosofi puasa tidak hanya menahan untuk kepentingan pribadi (baca: takut dosa karena tidak menjalankan ibadah) tapi juga menjaga keberlangsungan hidup generasi mendatang. Wow, benar-benar metode ibadah yang luar biasa.