Ibuku baru saja mengeluh, “Harga pisang mahal banget. Baru aja naik!” Sebuah keluhan yang tak lama kemudian kudengar lagi dari beberapa orang rekanku yang juga mengatakan bahwa harga ayam dan daging mulai merangkak meninggalkan tempat berpijak stabilnya selama bulan-bulan belakangan.
Sejujurnya aku tidak heran dengan fenomena seperti ini. Sudah jamak bertahun-tahun bahwa bulan puasa memiliki salah satu arti lain: kenaikan harga. Bukan salah pada pedagang sih, karena permintaan meningkat, stok menjadi sedikit, ya akhirnya harga lah yang dinaikkan (atau naik) dengan sendirinya. Permintaan meningkat karena justru di bulan puasa lah orang seperti mendapat pembenaran untuk mencoba beragam makanan atau cemilan lebih dari yang biasa mereka konsumsi sehari-hari. Kolak, es buah, es cendol, dan kawan-kawan yang umumnya hanya bisa kita temukan di pasar, pusat perbelanjaan atau kondangan, kini menjamur di tiap meja makan di tiap rumah. Ditambah dengan menu makanan sedap bin enak plus kue kering maupun basah, lengkap sudah buka puasa di hari itu.
Aku pun kemudian menjadi penasaran: demikiankah seharusnya kita menjalani puasa? Sebuah pertanyaan yang aku pun sudah tahu tidak perlu dijawab. Apalah gunanya menahan lapar dan dahaga seharian jika kemudian hanya dalam sejenak berbuka dan tanggul itu telah dijebol oleh berkilo-kilo makanan? Bukankah lapar dan haus sejatinya melahirkan keinginan untuk berbagi? Bukankah hasrat pemenuhan syahwat harusnya menjadi titik awal untuk mencintai dengan tulus dan tanpa syarat? Bukankah setiap suapan dan tetes air yang melewati kerongkongan mestinya menghantarkan pemahaman akan syukur?
Jauh dari dalam lubuk hatiku menjawab, “Ya!” Dengan inilah Tuhan mengajari kita untuk menjadi manusia yang merdeka.