Bergerak dan Diam

Pagi ini aku tiba-tiba teringat pada salah satu kuliah yang pernah kuikuti. Dosenku ketika itu menceritakan pengalamannya menjadi subyek eksperimen ketika kuliah di Glasgow. Dalam eksperimen tersebut, ia diminta untuk tidur selama lebih dari 12 jam dengan mata diberi penutup dan seluruh tubuhnya dibalut sehingga tidak bisa bergerak. Lebih tepatnya ia memang tidak diperbolehkah untuk menggerakkan anggota badannya selama proses eksperimen tersebut. Apa yang terjadi kemudian adalah ia mulai mengalami berbagai halusinasi. Setelah eksperimen selesai pun, ia merasa kesulitan untuk langsung mengendalikan gerakan anggota tubuhnya. Seperti ada yang lepas dari kontrolnya ketika itu. Sambil berseloroh, ia mengatakan, “Barangkali inilah sebabnya pada zaman kuno dulu banyak orang-orang sakti yang mengaku mendapat wangsit setelah duduk bertapa berpuluh-puluh hari.”

Terlepas dari betapa gelinya aku ketika mendengar selorohnya ketika itu, eksperimen itu memunculkan beberapa hal di pikiranku. Satu sisi, bergerak adalah fitrah asli manusia. Itulah salah satu makna diciptakannya debu. Sepintas, kita mungkin berpikir kalau debu tidak memiliki arti selain hanya mengotori saja. Namun misinya untuk selalu menempel di berbagai benda menjadikan kita senantiasa bergerak untuk membersihkannya. Tanpa gerak, tubuh manusia akan kehilangan sirkulasi yang berlangsung di dalamnya. Tidak mengherankan jika kemudian memunculkan berbagai ketidakseimbangan yang berujung pada penyakit. Jika dicermati lebih jauh, senantiasa bergerak membuat manusia memiliki harga diri sehingga mampu memenuhi kebutuhan akan eksistensi dirinya. Demikianlah yang terjadi pada ibuku beberapa bulan terakhir. Karena sudah mulai menjalankan usaha kue kecil-kecilan, berbagai keluhan sakitnya pun menurun drastis.

Sisi lain, berdiam diri pun juga memiliki sisi positif jika dikerjakan sesuai dengan porsinya. Berbagai kajian mengenai meditasi dan ritual ibadah sudah membuktikan hal ini. Dikatakan bahwa ketika kita berkonsentrasi penuh ketika meditasi atau pun khusyuk ketika menjalankan shalat maka akan muncul semacam kejernihan dalam hati dan pikiran kita. Mereka yang secara konsisten mampu menjalankannya mengakui munculnya kepekaan yang lebih tinggi terhadap berbagai hal yang mereka alami.

Sejenak kemudian aku teringat penuturan Quraish Shihab mengenai manusia sebagai makhluk pertengahan. Manusia tidak diciptakan dengan kepatuhan seperti malaikat, sehingga tidak mampu memahami berbagai fenomena alam dan mengembangkannya. Diperintahkan untuk berdzikir, ia berdzikir seumur hidupnya. diperintahkan untuk menjaga pintu dan ia akan menjaga pintu itu selamanya. Manusia juga tidak diciptakan seperti hewan yang hanya hidup mengikuti nalurinya. Perutnya bergejolak, dan makanlah ia. Saatnya musim kawin, dicarinyalah lawan jenis untuk diajak bereproduksi. Manusia diciptakan dengan kombinasi dari keduanya. Ia memiliki naluri alamiah, sekaligus kecenderungan untuk patuh dan tunduk pada Penciptanya.

Inilah yang membuat kedua pemikiran awal tadi menjadi masuk akal. Keduanya memang dua sisi yang berbeda tapi berada dalam obyek yang sama. Manusia harus terus bergerak untuk memenuhi misinya sebagai ciptaan paling mulia. Namun demikian, ia pun harus menghentikan langkahnya sesekali, terdiam dan merenungkan segala hal yang telah dilewatinya. Ketika itulah ia akan melihat cahaya Tuhan membimbingnya. Aku belajar keduanya dari shalat dan puasa. Kita bergerak ketika shalat, tapi juga terdiam tuma’ninah dalam setiap langkahnya. Kita tetap menjalani hidup ketika berpuasa, dan mendiamkan perut serta berbagai godaan lain. Hanya dengan bergerak kita bisa membuat perubahan. Namun hanya dalam diamlah suara Tuhan bisa terdengar.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *