Level Cinta

Akhir pekan kemarin aku mendengar sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Ronan Keating. Cukup sering kudengar sebenarnya, namun entah mengapa saat itu terasa ada hal yang berbeda kurasakan.

If tomorrow never comes
Will she know how much I love her

Begitu kira-kira lirik pada bagian refrain yang kuingat.

Lagu ini kurang lebih bercerita tentang love dengan orientasi giving. Cukup menarik dan menyentuh, karena sebagai seseorang yang mencintai, si penyanyi ingin menggambarkan pengabdian cinta (cieilah…) dengan keinginan yang sederhana: sekiranya tidak ada hari esok untukku, kira-kira dia tahu nggak ya kalau aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan cintaku padanya? Memahami cinta sebagai sesuatu yang universal, lagu ini memiliki kasta cinta yang lebih tinggi daripada kisah cinta lain yang umumnya amat pamrih. Contoh, lagu milik Marcel ini:

Aku kan setia
Bila memang kau pun setia

Atau lagu berikut ini:

Sesungguhnya, ku tak rela
Jika kau tetap bersama dirinya

Yang terakhir ini termasuk salah satu lagu yang kucibir karena bukan hanya level cintanya tidak terlalu bergengsi, tapi juga tidak tersirat kesan optimisme dan asertivitas sama sekali. Kalau memang tidak rela, so what? Mau berbuat apa? Cari orang lain kah? Atau kejar terus sampai dapat?

Kembali pada lagunya Ronan Keating tadi (yang terus terang aku lupa judul aslinya), masih tersisa perasaan kurang puas dengan cinta model begini. Terasa masih menghambat dan membelenggu sang pencinta sehingga terus berharap-harap cemas akan adanya return dari cinta yang diberikan, meskipun hanya sekedar kekasihnya tahu pasti bahwa ia telah memberikan seluruh cintanya.

Nah, di sinilah aku kemudian teringat pada sebuah lagu jadul:

Cinta yang kuberi
Sepenuh hatiku
Entah yang kuterima
Aku tak peduli
Aku tak peduli oh oh oh…
Aku tak peduli

Yap! Lagu milik musisi balada Ebiet G. Ade ini kuingat terakhir kali kudengar di bis kota beberapa bulan lalu. Cinta model begini inilah yang pada akhirnya membuatku sreg, sebab sebagai seorang pencinta, aku termasuk pendukung ungkapan mencintai tak harus memiliki. Terkesan klise? Mungkin, bagi mereka yang menganggap cinta hanyalah permainan kanak-kanak di antara dua remaja yang sedang kasmaran. Untunglah, cinta yang sebenarnya tidak serendah itu. Cinta adalah perekat segala sesuatu yang tampak tidak sinkron, jauh, dan mustahil direkatkan. Aku pun teringat orang-orang Muslim Cina pernah berkata tentang Mohammad Natsir, “Kami mungkin lebih mengenal dan mencintai dia daripada bangsanya sendiri.” Pak Natsir lahir dan hidup di Indonesia, tapi orang-orang nun jauh di sana ternyata lebih merasakan cinta yang ia berikan berupa persahabatan dan persaudaraan sebagai orang-orang Muslim. Bukankah tidak pernah ada sepasang suami istri yang memiliki kecocokan sepenuhnya? Toh, mereka bisa memahami perbedaan masing-masing dan hidup bahagia puluhan tahun karena cinta yang mereka miliki. Bukankah pula banyak negara dengan beragam perbedaan mampu hidup damai ratusan tahun? Apa lagi yang menjadi sebabnya jika bukan cinta yang mereka bangun terhadap kesatuan negaranya.

Cinta tumbuh subur, ketika dipupuk melalui kebiasaan memberi. Dengannya kita selayaknya menjadi manusia yang merdeka, tanpa ada kecemasan apapun akibat rasa ingin menerima. Isn’t it sweet?

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *