Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
Pertanyaan di atas adalah sebuah pertanyaan yang terceletuk dalam benak saya setelah menyelami NLP selama kira-kira 4 tahun. Sebuah pertanyaan yang bernada iseng, namun rupa-rupanya menyimpan persoalan mendasar.
Ya, jika peta bukan wilayah, mengapa masih dipakai? Mengapa tak kita langsung saja masuk ke wilayahnya, tanpa menggunakan peta? Nyebur aja langsung.
Maka penelusuran pun saya lakukan, dan mengantarkan saya pada kesimpulan sederhana. Ya, sangat sederhana, yang saking sederhananya justru tidak kepikiran sejak awal.
Apakah itu?
Ya presuposisi lanjutannya. Dalam beberapa versi, presuposisi NLP “peta bukan wilayah”, dilanjutkan dengan “manusia merespon berdasarkan peta yang dimiliki, bukan pada realitanya”. Jadi, mengapa tetap memakai, “peta”, ya karena dasar perilaku kita adalah “peta” yang kita miliki.
Eh, apaan sih dari tadi ngomongin “peta”?
Oh iya, maaf. “Peta”, dalam bahasan NLP, sama dengan “persepsi” dalam bahasa psikologi. Atau dalam bahasa awam, seringkali orang mengatakan, “Ah, itu cuma pikiranmu saja!” atau “Oh, itu sih perasaanmu saja!”
Maka tak heran, meskipun seringkali seseorang pun menyadari bahwa ia memahami sesuatu dengan caranya sendiri, namun toh ia tetap merasa benar. Merasa itu pemahaman yang paling tepat. Bukankah orang yang merokok sudah tahu persis akibatnya bagi kesehatan? Bukankah orang yang melanggar lampu merah paham persis risiko kecelakaan yang mungkin terjadi?
Ya, mereka tahu persis. Dan pada saat yang sama tetap saja melakukan hal yang berkebalikan. Bukan karena faktanya, melainkan karena persepsi atau petanya.
Inilah sebabnya dalam kelas-kelas saya sering katakan bahwa kenyataan bahwa manusia merespon berdasarkan persepsi yang dimiliki adalah musibah sekaligus anugerah. Musibah, jika persepsi yang digunakan sudah jadul, membahayakan, atau tidak sesuai dengan apa yang ingin kita capai. Misal, ingin keluarga bahagia namun mempersepsikan bahwa kesetiaan itu tak penting. Ya jelas ‘jaka sembung’. Maka persepsi seperti ini layaknya sebuah program komputer yang tak cocok, dan harus di-uninstall lalu diganti dengan program yang sesuai.
Nah, ini sekaligus menjawab soal anugerah. Justru karena kita merespon hanya berdasarkan persepsi, maka untuk mengubah respon—yang karenanya mengubah nasib—kita cukup mengubah persepsi. Tak ada urusan dengan kenyataan, sebab kenyataan bisa dimaknai sebagai apapun. Uang Rp10.000,00 bisa dimaknai hanya sebagai seporsi makan siang, atau 3 porsi makan sehari, amat tergantung pada siapa yang sedang memegang uang tersebut. Bukan urusan nominalnya, melainkan nilai yang dipahami oleh seseorang terhadap nominal tersebut.
Mungkin ini salah satu sebab mengapa ada sebuah ajaran bahwa Tuhan berkata, “Aku menurut prasangka hamba-Ku.” Apapun yang kita persepsikan tentang Tuhan, dan karenanya menentukan sikap kita terhadap-Nya, bukanlah Tuhan. Melainkan hanya pemahaman yang kita miliki sampai detik ini, yang masih bisa berubah seiring waktu. Selayaknya jawaban kita terhadap pertanyaan, “Dimana kah letak jalan Jenderal Sudirman?”, yang amat tergantung pada peta kota mana yang kita gunakan. Secara, begitu banyak jalan bernama Jenderal Sudirman bertebaran di kota-kota di negeri ini.
Nah, sampai disini, maka pertanyaan penting berikutnya adalah bagaimana persisnya kita mengubah alias meng-upgrade peta yang kita miliki?
Sabar, rileks. Kita mulai dari…
Bagaimana Sih Sebenarnya Persepsi Terbentuk?
Anda tentu ingat cuplikan lagu berikut ini.
Dua mata saya.
Hidung saya satu.
Dua telinga saya, yang kiri dan kanan.
Ya, lagu zaman TK yang mengajarkan panca indera ini begitu akrab di telinga, dan seketika muncul saat saya mempelajari NLP. Kita telah paham bahwa manusia memiliki panca indera, namun mungkin belum mengetahui bahwa peran penting panca indera dalam pembentukan persepsi.
Silakan pikirkan seseorang yang Anda cintai. Apa yang muncul?
Aha, gambar? Suara? Rasa? Aroma tubuh? Begitu, bukan?
Pikirkan makanan favorit Anda. Apa yang muncul? Gambar? Suara? Rasa di lidah? Aroma? Tekstur?
Nah, adakah dari 2 contoh pikiran tadi, yang memunculkan jenis memori yang di luar dari hasil panca indera? Bukan gambar, bukan suara, bukan rasa, bukan aroma, bukan tekstur?
Demikianlah, kebanyakan pengalaman internal kita merupakan hasil pemrosesan dari panca indera. Maka persepsi, adalah hasil dari panca indera. Maka panca indera, adalah pintu masuknya Informasi, yang menyebabkan kita memersepsikan sesuatu sebagaimana saat ini.
Apa yang kita lihat menjadi gambar dalam pikiran. Apa yang kita dengar menjadi suara. Apa yang kita cium menjadi aroma. Apa yang kita cecap menjadi rasa. Apa yang kita raba menjadi tekstur dan suhu.
Ah, ini kan sudah biasa. Apa istimewanya?
Silakan perhatikan telapak tangan Anda dari jarak 30 cm. Apa saja yang Anda lihat? Tandai sebanyak mungkin.
Nah, sekarang dekatkan telapak tangan Anda, sehingga jaraknya hanya 15 cm. Apa saja kini yang Anda lihat? Berapa banyak yang tadi tidak tampak, kini baru jelas?
OK, sekarang dekatkan lagi hingga hanya 5 cm. Apa saja kini hal baru yang Anda temukan?
Aha! Jika Anda seperti kebanyakan orang, maka semakin dekat Anda melihat, semakin Anda sadari bahwa ada begitu banyak hal yang tak Anda lihat tadinya, kini menjadi begitu jelas. Ini baru soal tangan. Bagaimana dengan orang lain? Seseorang yang rata-rata Anda lihat dalam jarak yang pasti lebih dari 30 cm. Yang Anda temui mungkin hanya sekali. Yang bahkan baru Anda lihat dari foto. Informasi seperti apa kah kiranya yang Anda miliki jika hanya demikian cara Anda melihatnya?
Yak, jelas sekali. Apa yang kita lihat tentang orang lain, begitu sedikit dari apa yang benar-benar ia miliki. Maka teramat jauh bedanya antara persepsi yang kita miliki tentang seseorang, dengan jati diri yang sebenarnya. Persepsi kita tentang seseorang, baik sukai ataupun tidak, hanyalah snapshot dari perilakunya, dan sama sekali bukan dirinya.
Nah, sampai di sini, beberapa peserta dalam kelas-kelas saya biasanya terkesima. Bukan oleh penjelasan saya, namun oleh pengalaman mereka sendiri. Betapa sering diri ini memberikan penilaian akan perilaku seseorang, hanya berdasaran secuplik ingatan yang jauh dari lengkap. Dan dari ingatan tak lengkap itu kemudian lahir penilaian benci, marah, dengki, dll. Betapa kita begitu tak adil sejatinya, saat menempelkan label buruk pada seseorang, hanya karena pernah melihat—bahkan seringkali hanya mendengar dari orang lain—perilakunya yang tak kita setujui.
Hmm…peta bukanlah wilayah. Betapa pernyataan ini begitu valid.
Jangan terlalu cinta, karena bisa jadi satu saat akan benti. Jangan terlalu benci, karena bisa jadi satu saat akan cinta.
Ajaran ini begitu benar. Sebab cinta dan benci, hanyalah rasa yang didasarkan pada penginderaan yang tak lengkap. Penginderaan yang penuh dengan distorsi, generalisasi, dan delesi.
Kita terkadang tidak mendengar, apa yang seharusnya kita dengar. Kita mendengar, apa yang ingin kita dengar.
Lagi-lagi, ini semua musibah sekaligus anugerah. Musibah, jika seseorang melulu mendengar yang buruk dan malas mendengar yang baik. Anugerah, sebab kita bisa mencinta, justru karena memerhatikan yang baik, dan menafikan yang buruk.
Maka dalam kelas “Self Leadership Mastery”, saya ajak peserta untuk melatih panca indera kita untuk memasukkan informasi secara jernih.
Adillah engkau, sejak dalam pikiran.
Demikian tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia. Bertahun-tahun lalu saya membacanya, baru paham sekarang. Terbukti, saya hanya membaca apa yang ingin dan mampu saya baca.
sangat indah sekali penjabaran pemikiran tentang persepsi di atas..jadi tersimpul dibenak saya : “kenapa kita tidak boleh membenci atau mengecap orang lain buruk?. Karena kita selamnya hanya akan tahu sepenggal cerita saja atau mengetahui sifat perilakunya yang tak akan pernah lengkap seperti Tuhan menciptakan, yang sebenarnya masih ribuan cerita dan sifat-sifat baiknya yang tidak bisa kita ketahui..atau kita sendiri tak pernah mau tau..”