“Merasa tahu, adalah tanda ketidaktahuan.”
“Bagaikan padi,” ungkap ajaran bijak, “semakin berilmu seseorang, semakin ia merunduk.” Sebuah nasihat yang masuk akal, sebab adalah niscaya bagi sesuatu yang semakin berisi untuk semakin berat.
Tengoklah tubuh nan gemuk, niscaya berat baginya berjalan. Cermatilah pula kendaraan nan penuh beban, pastilah ia lambat meluncur.
Maka mencermati sesuatu yang ringan, pastilah ia tak berisi, atau sedikit isinya. Sebab takkan mungkin sesuatu tegak, jika tersimpan banyak beban di dalamnya.
Demikianlah pula perumpamaan insan berilmu. Makin banyak ilmu yang ia tanggung, makin berat lah terasa pertanggungan itu baginya. Apatah lagi jika teringat bahwa tiada sebuah ilmu pun, kecuali setiap hakikatnya kan menjadi saksi kala tak diamalkan.
Sementara itu, orang berilmu, tahu persis bahwa makin banyak yang ia kumpulkan, makin sadar bahwa ia tak mengumpulkan apa-apa. “Sebab mencari ilmu,” ujar nasihat bijak, “layaknya meminum air di lautan luas. Makin diminum, makin haus terasa. Sedang sang laut, tetap tenang terbentang di hadapan.”
Memahami ini, tahulah kita bahwa perasaan tahu, menunjukkan bahwa kita sejatinya tak tahu barang setitik. Karena yang tahu banyak, menyadari masih ada lebih banyak lagi nan bahkan belum ia kenali. Tak heran jika kemudian, orang berilmu kan makin berilmu, sebab kemerasa tak tahuannya. Sedang ia yang sedikit ilmu kian tak berilmu, sebab kemerasa tahuannya.
Maka berhati-hatilah, wahai diri, akan penyakit merasa tahu, karena ia adalah seburuk-buruk perintang ilmu.