Satu kali saya pernah berbincang dengan seorang kawan tentang kisah-kisah masa sekolah kami. Beberapa menit berjalan, sampailah kami pada tema, “Anak zaman sekarang mah enak. Segala macam ada, sumber pengetahuan juga banyak, tinggal browsing. Teknologi canggih.”
Saya pun sempat mengamini opininya, sembari menimpali, “Iya ya. Dulu, guru kita satu-satunya sumber ilmu. Sekarang, murid bisa jauh lebih canggih daripada gurunya. Dulu, metode pengajaran ya cuma itu-itu saja, klasikal di kelas. Sekarang, guru sudah mulai menggunakan beragam metode pengajaran yang mengasyikkan. Dulu, kita harus jalan kaki ke sekolah atau naik sepeda. Baru setelah agak besar naik angkot. Sekarang, anak-anak banyak yang sudah diantar supir.”
Sejenak saya merenungkan obrolan ringan itu, sehingga terbit sebuah tanya dalam benak, “Benarkah beragam fasilitas yang ada saat ini—setidaknya yang dimiliki oleh kelas menengah—merupakan sebuah keuntungan?”
Timbul keraguan dalam diri saya, sebab teringat satu obrolan lain dengan seorang guru di sebuah sekolah berlabel internasional. Sekolah itu, dengan kurikulum ‘luar’ yang dibelinya, bahasa pengantar bahasa inggris, gedung sekolah yang mewah bak mal, staf pengajar yang sebagian ekspatrian, rupanya menghasilkan siswa-siswa yang menurut sang guru seperti ‘robot’. Mereka menjalani aktivitas belajar mengajar dengan baik, tapi ‘ruh’ pembelajar yang memiliki kehausan luar biasa terhadap ilmu seolah tak hadir di sana. Sang guru menyebut mereka ‘anak-anak yang tak pernah menyentuh bumi’.
Ah, apa pula maksudnya?
Ya itulah, rumah di apartemen, turun ke lobi sudah dijemput oleh supir. Berangkat ke sekolah, turun di lobi yang bentuknya gedung bertingkat serupa mal, langsung naik lift. Pulang sekolah pun mereka jalan-jalan ke mal, bukan ke pasar tradisional yang becek. Amat jarang anak-anak ini berada berjam-jam di ruangan yang tak berpendingin.
“Lalu apa masalahnya dengan semua ini?” tanya saya pada sang guru.
Jawabnya, “Ya kehidupan mereka serba dimudahkan, dengan berbagai fasilitas dan teknologi. Tapi apakah semua kemudahan itu menjadikan mereka pembelajar yang haus ilmu? Belum tentu.”
Saya pun termenung, merenungi dua obrolan itu. Perlahan-lahan dalam pikiran saya hadir sebuah nasihat yang jauh waktu pernah saya dengar, “Ujian kesulitan itu berat. Tapi tidak pernah seberat ujian kemudahan.”
Saya baru paham maknanya. Ujian kesulitan jelas berat. Semua orang sepakat akan hal itu. Tapi kemudahan, rupanya juga sebuah ujian. Dan seringnya, ia tidak dianggap demikian. Orang-orang tua yang kini hidup mapan setelah mengalami tahunan masa kecil yang sulit, tentu ingin menghadirkan kemudahan dalam hidup anak-anak mereka. Dengan harapan, anak-anak itu bisa menjalani kehidupan yang lebih gemilang. Tapi kadang mereka lupa, bahwa kemudahan, punya efek samping membentuk pribadi yang tak tangguh. Pribadi yang kadang justru menggampangkan, karena sejak lahir memang mereka alami hidup yang serba gampang.
Maka sejatinya kemudahan, pun sebuah ujian yang sama menantangnya—atau bahkan lebih menantang—daripada ujian kesulitan. Orang tua yang mapan, harus lebih jeli melihat peluang bagaimana mereka dapat menumbuhkan jiwa-jiwa pemimpin tangguh dalam diri anak-anaknya, di tengah segala kemudahan yang terbentang di hadapan.
“Anak-anak dulu lebih fokus kalau belajar,” keluh orang tua. Ya jelas, sebab dulu tak ada video game, tayangan televisi pun tak menarik. Kini, bagaimana anak ingin fokus, sementara godaan begitu banyak, disediakan pula oleh orang tua mereka.
“Anak-anak dulu lebih tangguh,” keluh yang lain. Bagaimana tidak, sementara mereka harus menempuh jarak berkilo-kilo untuk bisa sampai ke sekolah. Kini, tanya saja bagaimana rute angkutan umum ke sekolah, mungkin mereka tak tahu.
Mari kita sejenak berhenti di sini. Di titik yang tak kita duga ini, bahwa segala usaha untuk memapankan diri, tak pernah lepas dari ujian yang menantang untuk diatasi. Orang tua zaman ini perlu merenungi dan mengatur strategi bagaimana mereka akan menghasilkan pemimpin-pemimpin tangguh dari rumah-rumah mewah yang ditinggali. Tak harus dengan meninggalkan kemudahan itu, tapi perlu lebih cerdik menyelipkan tema-tema kepemimpinan di dalamnya. Bahwa segala kemudahan membutuhkan perjuangan. Bahwa sesudah kesulitan memang ada kemudahan. Namun apa yang terjadi setelah kemudahan diraih? Bersiaplah dengan kesulitan yang dipergilirkan. Tengok saja bagaimana banyak konglomerasi besar yang dibangun dengan kesungguhan oleh generasi pertama, perlahan-lahan rubuh oleh generasi kedua dan ketiga.
Tapi ada yang jauh, jauh lebih penting daripada kehidupan pribadi semata. Melahirkan generasi yang tak matang akibat dididik dengan kemudahan, artinya mewariskan generasi itu pada bangsa ini. Tak tangguhnya anak-anak kita, bukan hanya berdampak pada diri mereka sendiri, melainkan juga berdampak pada nasib negeri yang kita cintai ini.
Saya pun teringat sebuah nasihat, “Rumah. Rumah. Ingatlah rumah. Sebab ia lah tempat bermula, dan tempat kembali.”
Rumah, adalah wadah yang melahirkan para pemimpin. Dan rumah yang hidup, yang dijiwai oleh ruh pembelajar, akan menjadi tempat para pemimpin pulang, mengisi tenaganya, untuk kemudian berkarya kembali.
Subhanallah…
Pemikiran yang mendalam. Terimakasih ya Pak..