Guru dan murid adalah dua insan yang dipertemukan untuk saling belajar. Ya, bukan hanya murid sejatinya yang belajar pada guru, melainkan guru pula yang belajar pada muridnya.
Ah, murid belajar pada guru, tentu sudah tahu. Tapi bagaimana guru belajar pada muridnya?
Mari berhenti sejenak, dan merenungkan sebuah logika sederhana ini. Dari mana seseorang disebut sebagai guru, tanpa satu murid pun di hadapan?
Sebuah nasihat pernah sampai, mengatakan bahwa pembelajaran itu tiga: menyimak, mengamalkan, membagikan.
Menyimak adalah bagian belajar yang mengajak diri tuk menyusun fondasi dasar keilmuan. Bagaimana sebuah bangunan kan berdiri tanpa fondasi yang mendasari? Begitu pun takkan kokoh bangunan ilmu, tanpa diawali menyimak penjelasan guru.
Mengamalkan, adalah bagian belajar untuk mendaratkan beragam ilmu ke bumi. Ilmu wajib diamalkan, sebab pada amal lah banyak rahasia pemahaman baru kan terungkapkan. Persis seperti ungkap nasihat bijak, “Pemahaman, adalah pertemuan antara pengetahuan dan pengalaman.” Dalam pengamalan itulah buah hikmah kan jatuh tercurah. Sesuatu yang takkan terjadi jika ilmu hanya semata diketahui.
Membagikan, adalah bagian belajar untuk menyebarkan kebaikan pada setiap orang yang berhak. Ya, manusia takkan sanggup bertahan hidup tanpa ilmu. Dan ilmu, telah Tuhan sediakan secara gratis. Sungguh tak tahu diuntung, orang nan berilmu yang kikir dengan ilmunya. Pun jika tak kikir, malas ia membagikannya pada orang lain. Padahal dalam kegiatan membagikan itulah, tersimpan rahasia-rahasia hikmah yang takkan didapat melalui cara lain. Cobalah tengok para berilmu nan dengan ikhlas membagikan ilmunya, adakah sanggup kau menyejajarkan diri dengan ilmunya? Sungguh sulit, sebab setiap kali kau naik satu tangga, ia telah melesat ratusan tangga, disebabkan keikhlasannya.
Para berilmu, adalah insan yang menyadari bahwa adalah hak ilmu untuk diamalkan dan dibagikan. Dalam pengalaman lahir pemahaman. Dalam pembagian lahir kebijaksanaan. Sebab tak cukup mengajar ilmu, berbekal catatan dan pengalaman. Mengajar ilmu, perlu ketekunan tuk mengemas ilmu agar mudah dipahami. Nah, di titik inilah seorang guru pun tumbuh jiwanya. Sebab mengemas ilmu adalah pekerjaan yang amat perlu modal kesabaran. Dan apakah kan disebut keahlian ini jika bukan ilmu baru?
Maka para guru sejati, mengajar tuk belajar kembali. Ia merindu muridnya, sebab keduanya sama-sama bertumbuh tiap kali bertemu.