Seorang sahabat bercerita tentang salah seorang muridnya yang sama sekali tak termotivasi untuk belajar. Setiap kali sahabat ini datang ke rumahnya, ia harus berjibaku demi mengajak sang murid untuk dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
“Sungguh hampir saya tak tahan menghadapi kondisi yang terus berulang ini, tapi tak kuasa untuk menyatakan dengan teguh keinginan berhenti pada orang tua sang anak,” ujarnya. “Ada saran?”
Sejenak saya merenungkan betapa seorang guru benar-benar merupakan sosok manusia sejati. Tanpanya maka banyak anak-anak negeri ini yang terus berada dalam kondisi kebodohan, yang akan berujung pada keterpurukan tanpa akhir.
“Menurutmu, apa sih sebenarnya akar masalah anak ini?” tanya saya penasaran.
“Beberapa kali saya mendapati ia sedang asyik menonton tayangan TV kesukaan tepat pada saat saya datang. Rasanya ini mungkin mengganggunya. Pernah saya usulkan agar jam belajarnya kami geser ke waktu setelah tayangan itu selesai, tapi ibunya tidak setuju,” jawabnya.
“Benarkah ini akar masalahnya?” saya penasaran.
“Hmm..saya tidak yakin juga. Tapi memang ibu anak ini cukup keras sifatnya. Berbicara dengan saya saja beliau agak sulit mendengarkan. Belum sempat saya berpendapat ia sudah berbicara tanpa memberi kesempatan,” jawabnya.
Fiuh. Situasi seperti ini saya temui lagi. Kebiasaan orang tua menjadi penghalang baginya untuk memahami anaknya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sederhana—amat sederhana—namun banyak orang abai untuk menekuni dan menggunakannya, bahkan pada orang-orang tercinta. Lalu terkejut dan bertanyalah mereka mengapa anak-anak tak menurut, tak termotivasi, bahkan menjadi pembangkang. Berjibaku lah mereka menelusuri beragam cara untuk mengubah sang anak, namun lupa melihat ke dalam. Bahwa sang diri, sejatinya lah yang perlu diobati.
Masalah anak, hampir selalu adalah masalah orang tua. Sebab perilaku anak, hanyalah cermin dari bagaimana orang tua mendidiknya selama ini. Tolong jangan salah mengerti, bahwa anak yang berperilaku buruk adalah akibat dari perilaku buruk orang tuanya. Bisa saja, perilaku buruk seorang anak, hanyalah reaksi dari abainya orang tua pada permasalahan ‘sepele’ sang anak. Maka sang anak yang belum memahami sepenuhnya takaran baik dan buruknya laku sekedar melakukan semuanya demi mendapat perhatian.
Belakangan saya menemui seorang siswa setingkat SMA yang berperilaku agak ‘unik’. Saya mendapatinya sebagai anak yang baik, hanya memang ia bukan merupakan anak yang ‘ideal’ bagi ukuran orang awam. Dan tahukah apa yang saya temukan pada kisahnya? Ia bercerita bahwa ia ingin sekali menjadi anak yang bisa memiliki nilai yang baik. Sebab nilai-nilainya sering jelek, hingga beberapa kali ibunya berkata, “Apa sih yang bisa dibanggakan dari kamu?”
Duh, sungguh sakit saya mendengarnya. Bagaimana mungkin ada seorang ibu yang tega mengucapkan kalimat serupa itu pada anak yang dikandung dan dilahirkannya sendiri? Seorang anak yang tak pernah meminta untuk dilahirkan? Seorang anak yang nyata-nyata titipan Tuhan dengan ciptaan paling sempurna? Sebab mengatakan seorang anak tak memiliki kelebihan, sama saja dengan mengatakan Tuhan cacat dalam penciptaan.
Maka saya sungguh tak ingin menengok keluar. Saya berkaca, mengapa Tuhan paparkan kisah-kisah ini di hadapan saya? Dan jawabannya adalah: saya pun orang tua. Bisa jadi saya melakukan kehilafan yang sama. Duhai, tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang Kau berikan nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang Kau murkai. Dan bukan jalan-jalan orang-orang yang sesat.