Keshalihan Pribadi untuk Kebahagiaan Organisasi

Jamak di zaman ini, perusahaan yang tak peduli dengan keshalihan pribadi karyawannya. Urusan spiritual, memang bukan urusan bisnis. Ia ditengarai tak berhubungan. Sejauh seorang karyawan menjalankan tugasnya, dan mencapai hasil yang ditargetkan padanya, silakan saja seperti apa kehidupan spiritualnya.

Menarik untuk mencermati fenomena ini, sebab di zaman ini pula dunia korporasi menghadapi beragam persoalan moral yang, mau tak mau, suka tak suka, pasti berdampak pada kinerja. Apakah ia soal kejujuran, atau soal lain yang kemudian menjadi perbincangan tak sehat. Mudah kita pahami, bahwa pada akhirnya perusahaan tak pernah bisa melepaskan diri dari urusan spiritual para karyawannya. Karena manusia adalah makhluk utuh, apa yang ia kerjakan di satu sisi, pasti kan berdampak pada sisi yang lain.

Belum lagi percaya akan hal ini?

Ah, mari berhenti sejenak di sini. Dan merenungi sebuah kondisi seperti ini.

Seorang karyawan bekerja di bagian penjualan. Ia diberi target penjualan yang cukup menantang, mengharuskannya untuk bekerja keras dan cerdas. Nah, sebagaimana sudah dipahami bersama, dunia sales bukanlah dunia yang terlalu bersih. Dalam banyak kali, rekan-rekan yang sulit menjaga diri toh akhirnya menghalalkan beberapa cara yang sejatinya menipu hati nurani mereka sendiri. Taruhlah mereka tak berurusan dengan korupsi, tapi paling tidak pasti lah ada peluang memfasilitasi jalan keburukan bagi para pelanggannya, berkedok sesuatu yang mereka sebut sebagai entertain.

Mudah kita lihat bahwa uang yang mereka bawa masuk ke dalam perusahaan, sejatinya tak murni lagi. Memang angka pencapaian tampak begitu indah. tapi bicara soal keberkahan, ah, rasanya jauh. Dan sebab yang rutin dipantau setiap minggu adalah angka-angka itu, jadilah ia lingkaran keburukan yang semakin membesar.

Nah, jangan menganggap bahwa masuknya uang yang tak murni akan berhenti menjadi urusan para penjual semata. Sebab uang adalah darah organisasi, ia mengalir ke setiap lini, ke dalam gaji setiap orang di dalamnya. Lalu dinikmati lah ia tanpa disadari ‘kebersihannya’. Menjadi daging, menjelma pola pikir. Jadilah keburukan, kemudian dianggap wajar. Gedung meninggi, namun kebaikan bisa jadi menjauh.

Kala merenungi hal ini, sampai lah saya pada pemahaman bahwa sudah bukan zamannya lagi perusahaan abai pada persoalan keshalihan karyawannya. Perusahaan justru sangat berkepentingan pada kehidupan spiritual setiap orang, demi menjamin kebaikan tetap mengalir di dalamnya.

Ah, ok, mungkin bicara soal keberkahan masih terlalu jauh bagi banyak perusahaan. Maka mari kita bahas soal yang lebih dekat dengan keseharian.

Berapa banyak dana yang dianggarkan perusahaan untuk melatih karyawannya dalam soal motivasi? Berapa besar dana yang dikucurkan demi soal yang disebut dengan good corporate governance, demi mendapati bahwa selalu ada saja celah yang berhasil ditelusuri?

Sungguh, perusahaan di zaman ini sering masih menutup mata, bahwa satu-satunya cara menghadirkan kejujuran yang otentik dalam diri seseorang, adalah dengan memastikannya selalu mengingat Tuhannya. Mengingat bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Demikian pula satu-satunya sumber energi, sumber motivasi yang tak pernah kering adalah motivasi berbasis spiritual. Kala kerja menjadi ibadah, jauh kita dari hitung-hitungan, sebab setiap langkah adalah pengabdian.

Ah, yang terakhir ini bukan saya maksudkan demi menguntungkan perusahaan semata. Bahwa kemudian perusahaan dapat seenaknya tak mengurus soal kesejahteraan, sebab karyawannya bekerja bermotif pengabdian. Sama sekali bukan. Namun banyak kali saya dapati perusahaan yang sibuk, mengeluarkan banyak energi hanya demi mengurusi segelintir orang yang penghasilannya jauh lebih tinggi dari standar memadai, namun begitu hitung-hitungan, sebab kerja bermodel transaksional. Dalam kondisi demikian, masih banyak pula perusahaan yang belum menyadari bahwa kepuasan dan kebahagiaan, hanyalah sedikit yang disumbang oleh aspek finansial. Jauh lebih banyak sumbangan itu hadir oleh aspek spiritual, sosial-emosional, dan intelektual.

Masuk akal?

Inilah alasan saya mencantumkan judul di atas, “Keshalihan Pribadi untuk Kebahagiaan Organisasi”. Ya, saya tak salah ketik. Kebahagiaan, sejatinya mesti menjadi tujuan, jauh melebihi kesuksesan semata. Apalagi jika kesuksesan hanya semata diukur berdasarkan aspek finansial. Kebahagiaan adalah soal perasaan. Perasaan akan terpahaminya makna-makna, sehingga setiap insan bukan semata kerja, melainkan naik lebih tinggi menghasilkan karya. Di titik inilah, baik individu maupun organisasi akan mencapai kepuasan yang tak terkira.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *