Aku sedang di Ambon. Ini adalah untuk pertama kalinya dalam hidupku, menginjakkan kaki di bumi pahlawan Pattimura dulu memimpin perjuangan. Bumi indah yang sempat beberapa tahun mengalami konflik yang—katanya—bermotifkan agama. Ah, tapi aku sedang tak ingin membahas itu. Aku ingin bercerita tentang sebuah pembelajaran yang kudapat dari salah seorang yang menjemputku di bandara, sewaktu kami makan siang.
Dia adalah seorang karyawan, asisten manajer sebuah perusahaan BUMN, yang kala itu menghubungiku. Singkat cerita, kami makan siang di restoran bandara, mengobrol tentang banyak hal ringan, hingga sampai lah pada urusan soal ibadah shalat. Kawan baruku ini seorang asisten manajer personalia, sehingga kami pun mengaitkan perbincangan kami pada soal-soal kepegawaian.
“Saya berpikir, satu saat kita akan bisa melihat apakah kita bisa memercayai seseorang dari kebiasaan shalatnya. Jika ia menjaga shalatnya, ia pasti orang yang bisa dipercaya. Jika tidak, ia pasti tak bisa dipercaya,” katanya.
Aku menyimak. Dan mengamini dalam hati.
Ia pun melanjutkan, “Mengapa orang yang tak shalat tidak bisa dipercaya? Ya, karena pada Tuhannya saja, yang telah memberinya begitu banyak nikmat tanpa batas, ia tidak memenuhi kewajibannya. Apalagi pada kita, perusahaan, yang sekedar mengikat kontrak kerja?”
Sangat masuk akal bagiku.
“Satu lagi Mas indikatornya. Yakni soal kesetiaan pada pasangan,” ujarnya.
“Nah, ini menarik,” kataku dalam hati.
“Mengapa? Ya sama. Kalau pada pasangannya, yang telah mengabdikan diri pada hidupnya, ia tak bisa setia, apalagi pada perusahaan yang semata hanya urusan kerja?” tegasnya dengan suara yang tenang.
Aku merenung. Dan mengingat beragam pelajaran yang sering kuulas dalam kelas-kelas yang kubawakan. Begitu sering kukatakan bahwa kita memang tak pernah bisa memilah-milah hidup kita. Kehidupan adalah satu kesatuan. Utuh, tak terbagi. Apa yang kita lakukan baik di satu sisi, adalah gambaran kebaikan di sisi lain. Apa yang kita lakukan buruk di sati sisi, adalah gambaran keburukan di sisi lain.
Apa pasal?
Ya, sebab memang tak sedetik pun kita lalui, melainkan ia kan dipertanggung jawabkan di hari akhir kelak. Maka bagi setiap diri, setiap aktivitas adalah dzikir, adalah ibadah, adalah pengabdian. Bekerja, bukanlah semata menjemput penghasilan. Ia adalah pengabdian yang kan dinilai kesungguhannya. Mengurus keluarga bukan semata kesenangan. Ia adalah jalan melahirkan penerus kebaikan. Bercengkerama dengan tetangga dan kawan pun bukan semata hiburan. Ia adalah jalan tuk saling mengingatkan, menguatkan di jalan kebenaran dan kesabaran.
Sungguh, tak ada celah bagi aktivitas yang tak bernilai. Maka masuk akal lah, jika kita bisa menilai ciri setiap diri, dari jejak yang ia tinggalkan dalam sudut-sudut kehidupannya. Baikkan satu sisi, ia kan baikkan yang lain. Burukkan satu sisi, ia kan burukkan yang lain.
Duhai, ampuni kami, yang acap kali lalai.