Social architecture, adalah istilah yang diajukan oleh Bennis dan Nanus dalam Leaders. Dan pemahaman pendek saya mengatakan ia memiliki makna yang berkaitan dengan budaya organisasi. Setelah seorang pemimpin berhasil mengajak seluruh tim untuk menyepakati sebuah visi, maka ia harus memastikan setiap langkah individu dalam organisasi berada dalam irama yang sama mencapainya. Caranya? Ya membangun arsitektur sosial, alias budaya .
Arsitektur sosial adalah jalinan makna yang terbentuk dalam organisasi. Persis seperti budaya masyarakat, ia adalah semacam cara yang disepakati oleh sekelompok orang untuk menafsirkan sesuatu. Sebuah tatanan nilai yang diyakini oleh seluruh tim sebagai cara yang benar untuk bekerja. Maka ia bukanlah semata rancangan kalimat visi, misi, dan tata nilai yang terpampang di dinding. Ia adalah sebuah suasana yang terasa saat kita masuk ke dalamnya. Ia abstrak, tak tampak, namun terasa. “Ngono yo ngono, ning mbok ojo ngono,” misalnya, adalah tata nilai Jawa yang mengajarkan manusia perlunya memahami konteks setiap perkara. Anda boleh tidak setuju pada pendapat seseorang, namun cara konfrontatif—meski isinya benar—perlu dipikirkan masak-masak sebelum dimunculkan. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Yang sedang saja, yang pertengahan saja. Nah, tata nilai ini jelas tak tertulis, tapi ia terasa, dan berusaha diwujudkan tanpa sebuah artikulasi yang eksplisit.
Para pemimpin memerlukan arsitektur sosial untuk memastikan irama gerak organisasi terjaga tanpa disadari. Peraturan bisa menjaga, namun ia memerlukan mekanisme kontrol yang acapkali memiliki banyak keterbatasan. Sedangkan budaya, bisa membuat seseorang merasa bersalah kala melanggarnya, meski tak satu pun sangsi nyata ia terima. Saya teringat sebuah kisah tentang perusahaan penerbangan yang pada satu masa mengalami cukup banyak kecelakaan pesawat. Usut punya usut, muaranya bukan terletak pada sistem, melainkan pada budayanya. Apa pasal? Budaya dalam perusahaan menciptakan keseganan para kru pesawat—ko-pilot, pramugari—kepada para pilot. Maka meski mereka mengetahui bahwa ada kesalahan, rasa segan itu menghambat sampainya informasi penting kepada pilot. Singkat cerita, perusahaan kemudian membuat kebijakan untuk—salah satunya—menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa sehari-hari, sebab bahasa ibu mereka memang mengajarkan budaya keseganan itu.
Sebuah budaya tak terbentuk dalam sehari, pun setahun. Ia adalah hasil interaksi bertahun-tahun yang awalnya dibentuk oleh para pemimpin, kemudian akhirnya bisa jadi membentuk para pemimpin. Amat baik jika ia masih relevan dengan perkembangan zaman. Namun jika sebaliknya, maka budaya organisasi justru akan menjadi faktor utama yang menghancurkan organisasi.
Bennis dan Nanus kemudian menggunakan sebuah model yang dikembangkan oleh Marcia Wilkof untuk menjelaskan 3 jenis arsitektur sosial, yaitu: kolegial, personalistik, dan formalistik.
Organisasi bergaya kolegial biasanya hadir karena pola bisnis yang menghendaki hubungan informal. Ia menghendaki pola kerja partisipatif dan mengalirnya ide dari bawah ke atas. Maka setiap orang yang memiliki atau terkena pengaruh dari sebuah keputusan wajib dan boleh memberikan masukan. Kekuasaan, pengaruh, dan status dalam organisasi jenis ini umumnya diperoleh melalui pengakuan rekan sejawat atas kompetensi seseorang, bukan berdasarkan posisi yang diemban. Model ini amat cocok bagi organisasi yang memang berada dalam sebuah konteks yang menghendaki kecepatan dalam gerak.
Organisasi bergaya personalistik menghendaki pola kerja dengan sentuhan humanis. Para pemimpin biasa berinteraksi secara personal dengan timnya. Mereka biasa turun ke lapangan, memberikan pujian pada siapapun yang telah bekerja dengan baik, menanyakan kabar keluarga, dan berusaha merasakan iklim kerja yang sedang terjadi. Sebegitu seringnya mereka melakukan hal ini, hingga tak perlu khawatir tim akan menilai mereka sedang melakukan pengawasan. Saking personalnya, amat sering orang awam melihat gaya kerja organisasi sama dengan gaya kerja sang pemimpin. Organisasi, adalah ekspresi dari karakter sang pemimpin.
Organisasi bergaya formalistik amat menekankan pada keteraturan dalam menjalankan organisasi. Struktur tertata rapi, begitu jelas siapa bertanggung jawab atas siapa dan terhadap siapa. Amat hirarkis, pengambilan keputusan terjadi melalui struktur yang kaku. Keseragaman gerak adalah nuansa yang terasa, sehingga diferensiasi dan keunikan individu hampir tak memiliki tempat.
Para pemimpin adalah seniman penggerak budaya. Saya katakan penggerak, sebab ia sendiri tak pernah bisa tahu budaya seperti apa yang nantinya akan terbentuk. Namun dengan proses pengkomunikasian makna yang terus-menerus, ia bisa menggerakkan organisasi untuk membentuk budaya yang sesuai dengan visi.
Caranya?
Bennis dan Nanus menemukan ada 3 tahap.
- Ciptakan sebuah visi baru.
- Tumbuhkan komitmen terhadap visi baru itu.
- Institusionalisasikan visi baru itu.
- Ciptakan Visi Baru
Meskipun perumusan visi adalah pekerjaan kolektif, ia adalah tanggung jawab utama seorang pemimpin. Apapun alasannya, sebuah visi harus dimulai dari atas—para pemimpin—yang memiliki kewajiban untuk menghadirkannya dalam lelaku mereka. Para pemimpin yang perilakunya selaras dengan visi telah memiliki modal awal perubahan yang amat memadai.
- Tumbuhkan Komitmen
Seluruh organisasi harus digerakkan untuk menerima dan mendukung misi baru ini. Caranya beragam. Yang umum adalah menghadirkan seluruh tim—atau setidaknya para pimpinan tim, jika organisasi besar—dalam sebuah proses sosialisasi mendalam yang berlangsung bukan dalam hitungan jam, melainkan hari. Hitungan hari, dalam pengamatan saya, memungkinkan seluruh peserta membangun hubungan interpersonal yang berbeda, dibandingkan hanya pertemuan 1-2 jam. Tentu saja sesi semacam ini tak cukup. Ia harus ditindaklanjuti dengan penjabaran yang mendetil dalam berbagai bentuk, penjelasan, pelatihan, dll. Segala simbol pun dicermati, mulai dari logo hingga desain ruangan, sehingga keseluruhan hal yang tampak-dengar-rasa oleh individu mengkomunikasikan visi baru.
- Institusionalisasi Visi
Nah, ini tahap paling menantang: menjadikan visi baru terinternalisasi dengan keseluruhan cara kerja organisasi. Ya, keseluruhan kebijakan dan prosedur harus dibedah ulang, dan dilihat serta rasakan keselarasannya dengan visi baru ini. Proses produksi, pengembangan produk, pemasaran, pelatihan, pengelolaan kinerja, dll, tidak satu pun terlewatkan untuk dicermati kesesuaiannya. Ini adalah proses membumikan sebuah visi yang bernuansa langit, hingga ia nyata, dan terasa.
Bennis dan Nanus pun menyimpulkan bahwa proses mengubah budaya organisasi jelas tak mudah, meski layak untuk diperjuangkan. Bagaimana caranya? Sejauh penelusuran mereka, tak ada satu cara pasti. Para pemimpin acapkali menggunakan beragam gaya yang dalam konteks masing-masing kiranya cocok dengan organisasi yang mereka pimpin. Kalaupun—menurut saya—ada yang sama adalah konsistensi untuk mengeksekusi pilihan cara itu.