“Para berilmu tahu benar beban ilmu, hingga tak sanggup banyak bicara kala semakin banyak nan dipahami.”
Terngiang lah sebuah nasihat, “Hak sebuah ilmu, adalah diamalkan.” Ah, betapa berat ia terasa. Sebab pada segala hak, kan menuntut pertanggung jawaban. Yakni setiap ilmu yang tak diamalkan, kan jadi penuntut besar di hari akhir nanti.
Tak heranlah, kiranya para berilmu tak banyak bicara. Sebab ilmu begitu luasnya, hingga disadari bahwa demikian banyak yang tak kuasa diamalkan. Banyak bicara, hanya akan menjadikan beban bertambah. Tidak saja beban sebab ilmu yang belum diamalkan itu sendiri, dan beban sebab mengatakan sesuatu yang belum dijalankan.
Dalam titik yang mungkin bagi para awam berlebihan, mereka acapkali berkata, “Ah, seandainya aku ditakdirkan menjadi batu saja.” Pada batu tak terdapat akal tuk menelaah ilmu, maka selamat lah ia. Sedang pada manusia, akal memang alat pengantar ke surga, dan pada saat yang sama juga pada siksa.
Maka benarlah tetanda para berilmu adalah ringkasnya bicara, namun mengena. Karena dalam tiap kata, terkandung jutaan makna yang sedemikian dalamnya. Ia menghujam tajam, menerobos kepongahan, dan tak jarang segera hadirkan cahaya hidayah.
Benarlah pula ciri para berilmu adalah keelokan laku. Sebab kerasnya berusaha mengamalkan ilmu, jadikan tiap gerak dan langkah demikian anggun, menggetarkan jiwa. Pada yang demikian lah layak tersemat gelar, “guru sejati, diamnya pun mengajari.”