“Doa orang yang dizhalimi itu makbul,” demikian ujar nasihat yang berkali-kali kudengar. Entah kapan pertama kali ia mampir ke telingaku, namun baru bertahun-tahun kemudian kupahami setitik maknanya.
Pertama, tentu jangan sekali-kali kau menzhalimi orang lain. Sebab doanya makbul, hingga diri ini mesti bersiap menanggung segala akibat dari doanya.
Kedua, bergembiralah kala mendapat kezhaliman, sebab itu kesempatanmu tuk menghamba penuh kesungguhan akan apa-apa yang kau harapkan. Bukan tak mungkin doamu yang selama ini belum jua dikabulkan, kini menjadi kenyataan.
Memahami makna kedua ini, pikirku pun melayang jauh, lalu menukik tajam hingga ke sanubari. Melahirkan bulir-bulir pemahaman lain yang menunggu tuk dipetik.
Ya, bergembiralah kala mendapat kezhaliman, sebab doamu kala itu makbul. Benarlah bahwa Dia sungguh tak pernah menakdirkan sesuatu pun, melainkan selalu hikmah yang tersembunyi di baliknya. Maka dizhaliminya dirimu, bisa jadi memang jalan yang Dia sediakan tuk tidak saja menguji imanmu, tapi juga jalan tuk pengabulan doa-doamu.
Di titik ini, renungku semakin dalam. Memanfaatkan momen terzhalimi tuk merajuk padaNya perihal apa yang kuinginkan tentu mudah. Yang menantang adalah—dan inilah sejatinya yang kan mengangkat kita pada kemuliaan—memanfaatkan momen makbulnya doa tuk mendoakan orang yang telah menzhalimimu.
Ya, alih-alih mendoakan keburukan, mengapa tak mendoakan kebaikan untuknya? Memohon sepenuh sungguh agar itu adalah kezhaliman terakhir yang ia lakukan, sebab entah darimana cahaya hidayah menelusup dalam kalbunya hingga menyelimuti seluruh jiwanya. Merajuk agar tak saja ia bertaubat, melainkan jadi pembela kebaikan hingga akhir hayat.
Maka terzhaliminya dirimu, wahai diri, bisa jadi memang jalan hidayah bagi orang yang menzhalimimu. Mungkin kau tak bertemu lagi dengannya di dunia, namun di hari akhir kelak, moga hidayah yang ia terima menjadi pemberat timbangan kebaikanmu.