“Dosa bagaikan debu. Kala sedikit dan lekas disapu, ia tak tampak. Namun kala dibiarkan tanpa disapu, ia meninggalkan bekas.”
Tiap perbuatan kan menjadi kebiasaan. Ia terekam dalam pikiran, perasaan, hingga gerak langkah. Kesan dan maknanya lah yang menentukan seberapa kuat ia tertanam. Makin kuat tertanam, makin besar kemungkinan kita mengulanginya. Sedang jika ia lemah belaka, kecil dorongan kita melakukannya kembali.
Sungguh beruntung, jika yang kuat tertanam adalah lelaku baik yang mendatangkan keridhaanNya. Namun celaka lah kala yang terjadi sebaliknya, lelaku buruk yang menghadirkan murkaNya.
Sebab perbuatan buruk, perbuatan dosa, layaknya debu. Kala tiap hari kita tekun membersihkannya, takkan sempat ia meninggalkan jejak. Namun biarkan ia beberapa lama, ia kan bertumpuk, hingga kala berhasil dibersihkan pun selalu ada noda tersisa.
Jika dosa ibarat debu, maka sapunya adalah taubat. Iringilah lelaku buruk dengan sesungguh taubat, lalu bayarlah waktu yang telah hilang dengan perbuatan baik.
“Tapi aku telah sering bertaubat, dan kembali melakukannya,” ujarmu. Ah, bahwa kau mengakuinya, wahai diri, adalah tanda masih hidupnya hatimu. Belum tertutupi oleh noda dosa yang terlalu menghitam. Maka janganlah berhenti bertaubat, dan secara bertahap meningkatkan kesungguhanmu. Sebab putus asanya dirimu dari pertaubatan adalah kehendak setan yang terkutuk. Padahal Dia Maha Pengampun, sebesar apapun dosa kau perbuat.
Sebagaimana debu meluruh tersebab air, dosa pun kan meluruh tersebab air mata penghambaan, pengakuan akan kelemahan. Teruslah, jangan pernah berhenti. Dia kan beri petunjuk pada siapa nan dikehendaki. Moga air matamu itu menjadi sebab kau masuk salah satu di antaranya.