“Rabbi, ajari aku menggenggam dunia tanpa mencintainya.”
Dunia disediakan bagi insan sebagai amanah. Sesuatu yang mesti dijaga kemanfaatannya. Dan kaidah mendapatkan dunia adalah kala ia pada batasan cukup. Kekurangan kan menjadikan susah. Kelebihan pun demikian.
Lalu bagaimana kah kiranya cukup itu?
Ia lah kondisi yang menjadikan diri sanggup terus berada dalam jalan kebenaran, kebaikan. Jalan yang mendekatkan pada Tuhan. Apakah duniamu menjadikanmu semakin dekat padaNya? Atau kah sebaliknya? Inilah ciri-ciri yang membedakan cukup dan lebih. Bukan soal sedikit atau banyak. Bukan pula soal kaya atau miskin. Dia yang miskin, belum tentu cukup, jika kemiskinannya itu menjadikannya pengeluh yang tak bersabar. Dia yang kaya, belum tentu pula cukup, jika kekayaannya itu menjadikannya penyombong yang tak bersyukur.
Lalu bagaimana kah caranya tuk menjadikan dunia secukupnya?
Para berilmu telah ajarkan: jadikan dunia dalam genggaman, jangan biarkan ia terikat dalam perasaan. Maka doa kita untuk terus berada dalam kecukupan adalah, “Duhai Rabbi, ajari kami menggenggam dunia, tanpa mencintainya.”
Sebab dunia yang dalam genggaman, berada dalam kendali kita. Tertangkapnya jadi manfaat, terlepasnya pun demikian. Tak segan kita tuk melepas, mudah pula tuk mengambil. Lain halnya kala ia telah merasuk ke hati. Diri ini jadi terikat, terbelenggu. Jadilah kita dikuasai dunia, alih-alih menguasainya. Padahal tabiat hati hanya sanggup mencintai satu sahaja. Jika hati diisi dunia, maka tiada Tuhan di dalamnya. JIka hati diisi Tuhan, tiada dunia di dalamnya.
Doa serupa ini, atau yang lebih baik, semoga membebaskan kita dari keterikatan hati pada dunia. Kita leluasa mengambil dan memanfaatkannya, dan leluasa pula tuk melepaskannya. Kita berada pada titik cukup setiap waktu. Sebab kelebihan memang bukan tuk kita nikmati di dunia. Kelebihan adalah hak kita di surge, akibat senantiasa mencukupkan diri di dunia.