“Berniatlah tuk hening. Demi membiarkan makna-makna meresap perlahan mengisi ruang-ruang yang kering dalam jiwa.”
Kehidupan ini riuh. Dan dalam keriuhan itulah kita terlibat menghidupkannya. Tanpa larut dalam riuh, kita tak ambil bagian, dan karenanya tak pula merasakan kenyataan. Dalam keriuhan, kita menghasilkan sesuatu, menyumbang sesuatu, menikmati sesuatu.
Namun sebagaimana layaknya keterlibatan, kita utuh. Maka sulit jika kemudian kita berada dalam keriuhan yang salah, yang sudah tak tepat lagi. Kita tahu ia tak tepat, namun tak sanggup tahu mengapa dan mesti apa. Ya, sebab kita pun bagian darinya, ada di dalamnya. Ciri-ciri keadaan ini adalah jiwa yang terasa kering, hingga jadikan langkah-langkah nan dijalani kosong belaka, meski sibuk luar biasa.
Pada titik ini lah, diri memerlukan hening. Hening, bermakna mundur sejenak, keluar dari keriuhan. Dalam pandangan yang berbeda, lebih mudah bagi diri tuk kembali memahami: tentang apa semua ini? Sungguh tabiat diri yang kala terlibat acapkali lupa tujuan. Kita perlu rehat, bukan tuk bermalas-malasan, melainkan meluruskan perjalanan yang kerap jauh dari tujuan.
Dalam hening, makna-makna kan meresap. Sebab kala hening, pori-pori rasa terbuka, menjadi jalan nan lebar bagi makna tuk masuk leluasa. Hingga terbasahilah jiwa nan kering dengannya, lalu mudahlah ia mencerna.
Hening, bukan soal diam. Kita bisa hening dalam keramaian. Sebab hening, adalah perbuatan pikir dan rasa. Dalam pikir dan rasa lah sejatinya keriuhan terjadi. Kala makna-makna berkelebat tanpa kendali, tak berada pada tempat nan semestinya. Heninglah, yang memungkinkannya mengendap, dan meresap, perlahan, menghadirkan kejernihan.
Menarik sekali jika bisa hening dan mengambil hikmah dari semua yang terjadi di keriuhan. Selain mundur sejenak dan memikirkan secara sadar, apakah ada teknis lain agar bisa efektif ? Terima kasih.