“Merasa diri layak mendapat pujian, bukanlah tanda insan nan terpuji.”
Segala hal milik Allah. Langit nan tinggi, laut nan luas, gunung nan kokoh, debu nan halus. Dan tiada satu pun yang tercipta, melainkan atas kehendakNya. Sungguh diri takkan sanggup mencipta, barang sesayap lalat, kecuali hanya semacam tiruan, itu pun masih menggunakan ciptaanNya yang lain.
Lalu di mana kah layaknya diri mendapat pujian, sedang setiap sel yang ada dalam tubuh ini hadir sebab karuniaNya? Di mana kah pula pantasnya diri mengharap pujian, sedang pikiran dan perasaan yang digunakan tuk berharap pun ada oleh sebabNya?
Sungguh unik. Insan terpuji, justru adalah ia nan tak peduli pada pujian. Dalam ketidakpedulian itu ia hanya mengincar keridhaan. Ridha dari Sang Pencipta, apatah lagi yang lebih layak diharapkan dari ini? Kita ada dan hidup karenaNya. Masih diizinkan berharap pun sebab perintahNya.
Maka insan nan masih gemar memburu pujian barangkali sedang terhijab. Silau ia di hadapan cahaya, hingga tak sanggup melihatnya, dan malah memalingkan muka. Padahal kebenaran itu terang semata. Pada tiap apa nan ada dalam diri, tersimpan ilmu tentangNya. Lalu kan terbitlah kekaguman tak terkira, hingga keinginan yang hadir pun sujud saja.
Segala puji bagiNya. Kalimat ringkas yang paling pantas diucapkan hamba nan mendapat pujian. Ini pun, Dia yang mengajarkan.