“Bagaimana shalat tak mencegahmu dari kekejian, sedang dalam tiap gerak dan katanya mengandung jutaan kebaikan?”
Sungguh menohok terasa kalimat di atas kala pertama kudengar. Menohok, sebab ia benar adanya. Shalat dipersiapkan sebagai ibadah yang kan dihisab paling pertama, sebab begitu banyak keutamaan di dalamnya. Sedikit saja ilmu agama nan diresapi sejatinya telah membuka mata bahwa ini adalah ibadah yang sempurna.
Shalat sah ketika diri telah bersuci. Apa pasal? Sebab kita hendak menghadap Dia Yang Maha Agung. Bukan sekedar atasan atau petinggi negara. Sedang menghadap manusia saja kita berhias, bagaimana menghadapNya kita seadanya? Membasuh kedua tangan, sebab ia lah alat tuk mensucikan yang lain. Berkumur dengan khidmat, sebab dari mulut lah paling banyak menyebar keburukan. Membasuh wajah, sebab melaluinya lah pandangan tak halal kerap diarahkan. Membasuh kepala, sebab pikiran inilah penentu arah gerak. Membasuh kaki, sebab tak jarang ia melangkah ke tempat nan salah.
Memulai shalat kita berdiri. Menunduk. Tunggulah sejenak. Bukankah terasa desiran hati akan kelemahan diri di hadapan Dia? Lalu masih mungkinkah tersisa pikiran lain tentang kerja, jika kita sedang berdiri di hadapan Sang Penguasa jiwa?
Tangan terangkat dengan takbir. Ah, betapa besar Dia, dan betapa kecil diri ini. Lalu tanpa terasa menciutlah hati, sedemikian kecil hingga sebagai debu.
Dalam iftitah terkandung sumpah, bahwa shalat, ibadah, hidup, dan mati hanyalah untukNya. Benarkah? Sudahkah demikian? Tidakkah diri merasa sebagai munafik kala menyatakannya? Tapi sungguh Dia Maha Pengampun.
Mulai lah Al Fatihah dengan mengucap basmalah. Mendeklarasikan diri kan membawa-bawa namaNya dan bertebaran di muka bumi berbekal kasih dan sayang. Dia Penguasa seluruh alam. Lalu siapa diri? Dia Penguasa hari pembalasan? Lalu kemana hendak berlari? Sungguh hanya kepadaNya lah layak menyembah dan memohon pertolongan. Dengan pertolonganNya lah jalan nan lurus kan kita dapati. Jalan orang yang telah terbukti diberikan nikmat, bukan yang dimurkai, bukan pula yang sesat. Lengkap sudah. Jalan yang lurus, bukan yang ke kanan, bukan pula yang ke kiri.
Lalu rukuk, dan heninglah sejenak. Meresapi ketundukan, sembari menyucikan namaNya. Bukan sebab Dia tak suci, namun karena pikiran ini lah yang terkotori dengan prasangka buruk tentangNya.
Berdiri, pun heninglah. Sekali lagi memuji, pujian sepenuh langit dan bumi, sebab diri ini sungguh tak sanggup lagi melantunkan pujian melainkan apa yang Dia ajarkan dan kehendaki.
Sujud. Ya, sujud. Inilah titik terdekatmu denganNya. Sebab untuk terhubung kepadaNya memang kita perlu menyungkurkan perasaan tinggi yang kerap hadir di kepala. Menyungkurkan dengan kesadaran sendiri, tanpa paksaan. Runtuhlah keakuan, sirna lah kesombongan. Kembali menyucikan namaNya dalam pikiran dan hati atas segala prasangka, dan mengakui sepenuh hati akan ketinggianNya.
Duhai, mungkinkah ibadah serupa ini, yang tiap gerak dan katanya menggetarkan jiwa, tak menjaga diri dari kekejian?
Mungkin saja. Ya, mungkin saja. Jika ia sekedar gerakan tanpa usaha penghayatan. Shalat adalah sebuah sajian yang Dia sediakan pada para beriman. Tanpa keimanan, sajian memang kan sia-sia belaka.
nikmatnya sholat bila dilakukan seperti di atas :’)
syukron mas teddy