NLP Itu Coaching Banget, Coaching Itu NLP Banget

Suatu kali, Michaell Hall pernah berkata, “Jika saja dulu NLP memulai dengan coaching—alih-alih terapi—we can own this field.” Kalimat ini bukan tanpa dasar. Ia didasari oleh pengalamannya mengisi sebuah sesi di salah satu konferensi ICF di sebuah negara. Dari sekitar 24 orang yang diundang—kalau saya tidak salah dengar—3 orang di antaranya adalah para coach berbasis NLP. Hanya 3? Ya, hanya 3 yang benar-benar menyatakan demikian. Namun kala sudah berkenalan satu demi satu, terungkaplah bahwa pembicara lain pun rupanya pernah mengikuti berbagai pelatihan NLP untuk memperkaya keterampilan mereka. Simpulan sederhana, NLP telah sejak lama dipandang sebagai alat bantu oleh para coach profesional.

Maka tak heran jika kemudian Michael Hall mengucapkan kalimat di atas. Sebab merunut pada berbagai asumsi dan pendekatan yang digunakan dalam NLP—terapi sekalipun—kita akan menemukan kesamaan cara pandang dengan coaching. Mungkin sebab era di masa NLP lahir saja lah, yang kala itu memang dikenal coaching seperti sekarang, yang menyebabkan NLP baru menyentuh coaching belakangan.

Apa sebenarnya titik persamaan NLP dengan coaching? Mengapa saya katakana NLP itu coaching banget, dan coaching itu NLP banget?

Mari kita bedah satu per satu.

Dalam NLP, kita mengenal pola dasar perubahan: dari kondisi sekarang (Present State/PS) ke kondisi yang diinginkan (Desired State/DS). Disingkat, dari PS ke DS, alias dari KS ke KD. Begitu pun dengan coaching. Coaching, adalah sebuah proses yang berorientasi pada tujuan. Pertanyaan pertama dalam coaching adalah menentukan apa yang ingin dicapai oleh klien dalam sesi tersebut. Gagal memfasilitasi klien untuk menjawab pertanyaan ini berarti sesi coaching yang gagal pula.

Nah, state, alias kondisi pikiran dan perasaan, dalam NLP dipengaruhi oleh setidaknya dua hal. Pertama adalah pikiran, kedua adalah gerakan. Pikiran, dalam bahasa NLP disebut sebagai representasi internal. Disebut representasi sebab ia hanya lah presentasi ulang dari kejadian aslinya. Pikiran manusia, adalah hasil dari proses filter dari informasi yang didapat melalui kejadian asli yang dialami, lewat paling tidak 3 proses, yakni Delesi, Generalisasi, dan Distorsi. Jadilah pikiran kita tidak murni seperti kejadian aslinya, melainkan telah mengalami pengurangan, penyamarataan, dan pengkaburan informasi. Pikiran inilah—bersama gerakan tubuh—yang kemudian mempengaruhi state, yang ujung-ujungnya mempengaruhi perilaku.

Maka dalam NLP, jika kita ingin mengubah perilaku, ubahlah state yang memicunya. Yang artinya, ubahlah pikiran dan gerakan tubuh Anda. Bagaimana mengubah pikiran? Dengan mengubah kualitas informasi yang ada dalam pikiran. Konfigurasi dari apa yang dihapus, disamaratakan, dan dikaburkan inilah yang ‘dimainkan’. Menggunakan model dalam NLP bernama Meta Model, seorang coach dapat membantu kliennya untuk menyusun ulang pengalaman internal yang mempengaruhi state-nya, dan pada akhirnya mempengaruhi perilakunya. Meta Model adalah pola bertanya untuk mendapatkan informasi secara presisi.

Lebih jauh, state yang dipengaruhi langsung oleh pikiran kerap disebut juga dengan primary state. Nah, ternyata, para pakar Neuro Semantic menemukan bahwa state yang kita alami tidak hanya satu, melainkan berlapis-lapis yang satu sama lain saling mempengaruhi. State yang ‘lebih tinggi’ dari state lain sehingga mempengaruhinya disebut dengan meta state. Maka state ‘sedih’, bisa berubah dampaknya jika ‘dinaungi’ oleh state ‘tertawa’, sehingga menjadi ‘menertawakan kesedihan’. Beda kah antara ‘sedih’ saja dengan ‘menertawakan kesedihan’? Sangat!

Jika primary state dipengaruhi oleh pikiran, begitu pun dengan meta state. Hanya bentuk pikirannya berbeda. Ia tidak spesifik berbentuk gambar, suara, atau sensasi rasa, melainkan kalimat-kalimat global yang kita sebut sebagai keyakinan, nilai, prinsip, paradigma, identitas diri, dll. Ia lah jenis pikiran yang kerap tertanam dalam melalui pengalaman, pengajaran, pola asuh, dan pendidikan, hingga kerap tak disadari, namun justru memberikan dampak besar. Kaidahnya adalah pikiran yang ‘di atas’ menaungi pikiran yang di bawah. Mengapa state malas yang muncul kala memikirkan olahraga? Oh, rupanya sebab meyakini bahwa olahraga itu melelahkan. Jadilah pikiran rasional bahwa olahraga itu menyehatkan, kalah oleh keyakinan yang entah bagaimana lebih dalam tertanam bahwa olahraga itu melelahkan.

Nah, jika seorang coach bisa membedah state primer dengan pertanyaan presisi ala Meta Model, ia pun bisa membedah meta state dengan pertanyaan global ala Meta Questions. Jadilah seorang coach berbasis NLP bisa bermain pertanyaan spesifik dan pertanyaan global untuk memfasilitasi perubahan pada kliennya. Coach yang tidak berbasis NLP pun sejatinya kerap menggunakan dua jenis pertanyaan ini. Namun dalam bentuk yang biasanya belum terlalu terstruktur, seperti halnya dalam Meta Model dan Meta Question.

Kembali pada pola dasar perubahan di atas tadi, kini kita bisa mengembangkan beberapa langkah sebagai berikut:

  1. Diskusikan kondisi yang diinginkan, pelajari kondisi saat ini. Misalnya ingin berubah dari malas olah raga menjadi rajin olah raga.
  2. Bedah state pada kondisi saat ini, apa saja pikiran dan keyakinan yang menaunginya sehingga sulit diubah. Misalnya olah raga itu bikin lelah (keyakinan), saya bukan orang yang suka olah raga (identitas diri).
  3. Bedah state pada kondisi yang diinginkan, apa saja pikiran dan keyakinan yang perlu menaunginya agar bisa bertahan. Misalnya olah raga itu menyenangkan (keyakinan), lebih baik berolahraga daripada masuk rumah sakit (nilai), saya orang yang menikmati olahraga (identitas diri).
  4. Diskusikan rencana tindakan yang spesifik menggunakan Meta Model. Misalnya lari pagi setiap akhir pekan selama minimal 30 menit.

Sekian dulu ya.

Spread the love

1 thought on “NLP Itu Coaching Banget, Coaching Itu NLP Banget

  1. Bila dikerucutkan, NLP menawarkan cara untuk merubah sudut pandang dan juga state management .

    Menurut pemahaman saya, dua hal ini dapat dijadikan sebagai landasan setiap coach untuk memfasilitasi perubahan setiap coachee nya atau memfasilitasi coachee dalam mempercepat suatu hal yang diinginkan/diharapkan/tujuannya. Yaitu dengan merubah sudut pandang yang nantinya dapat berdampak pada pola pikir dan juga perilaku coachee serta bagaimana seorang coachee dapat menjaga state nya dalam proses pencapaian yang diharapkannya.

    Mungkin ada hal lain yang bisa Mas Teddy tambahkan?

Leave a Reply to idrus putra Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *