Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan begitu (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Al Ankabut: 2-3
Ujian, adalah tanda iman. Tak datang ujian, kecuali tuk menguji keimanan. Dan layaknya ujian di masa sekolah, ia diberikan sesuai kemampuan.
Tidak lah mungkin seorang siswa sekolah dasar diberi soal ujian siswa sekolah menengah. Soal ujian yang terlalu sulit untuk kemampuan siswa, alih-alih menjadi alat mengukur pemahaman, justru akan melahirkan rasa trauma. Begitu pun takkan diuji seseorang, melainkan dengan ujian yang sesuai dengan kadar keimanannya.
Maka jika sebuah ujian hidup terasa berat, yakinlah wahai diri, bahwa Dia tak mungkin salah memberikan soal. Beratnya telah ditakar sesuai kadar. Tak lebih, tak kurang. Pas belaka. Rasa berat itu bukan sebab tak mampu, tapi mungkin persiapan yang kurang. Persis siswa yang mengikuti ujian tanpa pernah belajar. Ia tak siap, cemas luar biasa.
Serupa ujian masa sekolah pula, ia diberikan pada waktunya. Tak diadakan ujian, ketika siswa belum siap menjalaninya. Dan ujian, tak pernah selalu ada. Ia sesekali saja diadakan. Dalam waktu yang singkat, jauh lebih singkat dari waktu belajar. Maka benarlah nasihat bijak yang kerap kita dengar, bahwa badai pasti berlalu. Tak pernah ada dalam sejarah, setiap hari badai melulu.
Sampai di titik ini, sebuah tanya pun terbit:
Jika seseorang belum dikatakan beriman jika ia belum mendapatkan ujian, jika ujian adalah cara-Nya untuk meninggikan derajat orang beriman, maka aku tidak tahu apakah aku harus bersedih atau bergembira ketika ada orang yang sedang mendapatkan ujian. Sebab bukankah ia akan mendapatkan kemuliaan setelah lulus darinya?
“Kalau anak lagi belajar, mau ada ujian, masak orang tuanya ngerecokin sih…
Lagian, mana ada orang tua yang nangis-nangis bin sedih-sedih kalau tahu setelah ujian anaknya akan naik kelas?”
Tak tahu bagimu, Sobat. Namun ini sebuah persoalan rumit dan dalam bagiku. Pertanyaan ini menghadirkan sebuah dilema. Akankah aku mesti gembira di kala duka, sebab ia adalah ujian naik kelas belaka? Jika ya, bagaimana caranya? Sebab tak ada ujian yang terlalu rumit memang, ia pas saja, namun tak juga ia ringan. Soal ujian yang baik adalah yang mampu membedakan kemampuan asli dengan kebetulan, jadi tingkat kesulitannya pasti ditinggikan, meski tetap dalam koridornya.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
Al Baqarah: 286
Ya, ya, ya. Memang demikian adanya. Moga Dia karuniakan kemampuan tuk mengamalkannya. Sebab segala telah ditakarNya. Yang baik adalah sebab yang diusahakan. Yang buruk adalah sebab yang dikerjakan. Pada kebaikan dan keburukan ada ujian. Hanya berhenti kelak di akhir perjalanan.