“Kita, adalah apa-apa yang kita biasakan.”
Dua minggu lalu, laptop ku tersiram kopi. Sedikit saja, dan ia mati seketika. Ya, ia mati tak tak hidup lagi. Ketika kuserahkan pada ahlinya, aku pun menerima penawaran penggantian kerusakan yang luar biasa besarnya. Hampir-hampir seharga laptop baru. Aku pun meringis, sembari mengelola gejolak jiwa ini, yang lazimnya dalam keadaan serupa ini memang goyah ke sana kemari.
Singkat cerita, solusi pun berhasil didapat. Dan aku memang tak ingin berkisah tentang itu. Aku hanya ingin merenungi kejadian pemicunya. Ya, kejadian itu sungguh membuatku merenung dalam. Bagaimana rupanya, sebuah kerusakan demikian parah, terjadi hanya disebabkan kelalaian kecil. Sebab aku bukan seorang yang teledor selama ini. Aku cukup disiplin menyingkirkan segala cairan saat sedang bekerja dengan laptop. Namun entah mengapa di momen itu, aku lupa pada kebiasaanku. Dan cukup satu kali lupa itu untuk menghasilkan kerusakan yang luar biasa.
Ya, cukup satu.
Bukankah demikian dalam keseharian kita? Banyak kehancuran bukan disebabkan oleh hal-hal besar. Ia justru disebabkan oleh sumber-sumber kecil yang disebut kelalaian. Rusaknya karakter seseorang, runtuhnya bangunan keimanan seseorang, tidak terjadi serta merta karena bencana yang tiba-tiba. Ianya lahir dimulai dari permakluman terhadap keburukan-keburukan yang sederhana.
Tiba-tiba aku teringat pada bahasan yang sedang ramai belakangan, tentang bermunculannya komunitas homoseksual dan kawan-kawannya yang terkesan demikian berani. Sungguh kejadian serupa itu takkan mungkin terjadi 20 tahun yang lalu. Mengapa ia tampak nyata sekarang? Bukan, ini bukan tiba-tiba. Perhatikan saja tayangan dan berita yang disajikan beberapa tahun belakangan. Niscaya ia menyelusup secara halus, tak tampak, lewat kemasan-kemasan keseharian. Ia tak lahir lewat sebuah pemaksaan budaya. Ia justru lahir karena pembudayaan yang amat halus.
Maka waspadalah, wahai diri, justru pada hal-hal kecil yang dianggap remeh. Sebab yang menjadikan sebuah bangunan demikian tinggi adalah kumpulan pasir jua. Maka iman yang runtuh, adalah sebab ditumpuknya dosa-dosa yang diremehkan. Sedang iman yang kokoh, adalah sebab kebaikan-kebaikan yang dipupuk dengan ketekunan.
Ya, ini berita gembiranya. Kebaikan pun tak terjadi tiba-tiba. Ia dipupuk dari kebiasaan-kebiasaan yang sederhana. Diulang, diperbaiki, disempurnakan, terus-menerus hingga kuat jadinya.
Kita, adalah apa-apa yang kita biasakan.