Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Yang Menguasai Hari Pembalasan. Hanya kepadaMu kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang Kau berikan nikmat, bukan jaan orang-orang yang kau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.
Al Fatihah: 1-7
Inilah surat yang diletakkan paling muka di kitab petunjuk paripurna. Maka apa-apa yang akan diajarkan di dalamnya, telah tercakuplah dalam pembukaan ini. Dan apa-apa yang kan kita pelajari kala menyelaminya, bisa kita simpulkan dalam pengantar ini.
Al Qur’an adalah pedoman utama. Ia lah penghulu segala ilmu. Baiknya ilmu jika bersesuaian dengannya. Buruknya ilmu kala bertentangan darinya. Karenanya lah kita kan temui ia meminta diri ini melihat ke alam, mencermati, menelaah, mendalami, mengembangkan. Lalu setelahnya kembali padanya untuk memuji, merenungi, menghayati, dan mengokohkan iman.
Maka sungguh amat layak kita memulai perjalanan menuntut ilmu dengan berkaca padanya. Sebab sungguh, dalam Al Fatihah, terkandung petunjuk tentang adab belajar—sebuah aktivitas yang bagi kita, para muslim, adalah kewajiban sepanjang hayat.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Para pembelajar mesti memulai dengan niat. Ya, sebab apa-apa yang kita niatkan, akan kita temukan. Dan niat akan selalu ada, pun ia kan bisa kemana-mana. Manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh niat. Jika ia tersesat, periksa niatnya. Jika ia selamat, cermati niatnya.
Tiada niat yang akan menyelamatkan selain niat atas nama Allah. Ya, menuntut ilmu adalah bekal kita untuk kembali kepadaNya. Kita adalah ciptaan yang lahir tanpa buku manual layaknya barang elektronik. Bekal kita adalah ilmu yang Dia ajarkan melalui para nabiNya, dan yang Dia tebarkan di muka bumi untuk kita telaah dengan akal. Maka niat untuk menemuiNya, hidup di atas jalanNya, bersungguh meraih ridhaNya, adalah sebaik-baik niat yang mesti dijaga kelurusannya senantiasa.
Jalan ilmu adalah jalan cinta. Kita mengambil cinta dari kasih dan sayangNya. Kita berangkat dengan cinta. Kita menemui ilmuNya pun dengan cinta. Tak heranlah jika banyak diri menemui petunjukNya, lalu meleleh hati tersebab rindu padaNya. Melalui ilmu kita ingin mengenalNya. Pada setiap potongan yang disibakkan bagi akal yang lemah ini, terbentang cinta nan tak berbatas dariNya. Jadilah amat wajar, jika yang terucap dari lisan para pembelajar setiap kali mendapati sebuah pemahaman adalah…
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.
Kita belajar dari para guru, bahwa dalam bahasa aslinya, ungkapan ini bermakna dua: pujian dan terima kasih. Dua jenis ungkapan bergabung jadi satu. Dan hanya mungkin terjadi sebab kekaguman yang luar biasa, pada Dzat yang demikian besarnya. Bagaimana tidak? Sementara begitu sibuk akal ini mengungkap misteri kehidupan demikian lamanya, hanya simpulan saja yang mampu dilakukannya. Tak sanggup ini menciptakan apa yang berhasil ia temukan. Jadilah pujian dan terima kasih, terhimpun jadi satu dalam sebuah kekaguman puncak.
Inilah adab para pembelajar. Kala mendapati sebuah pemahaman, bukan dirinya yang dibesarkan, melainkan kepadaNya lah semuanya dikembalikan. Sebab secerdas-cerdasnya manusia, Allah jua lah yang menyediakan akal baginya.
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dan lagi-lagi, yang dirasakan hanyalah cinta. Maka sifat utama yang paling layak bagi para pembelajar adalah kasih dan sayang. Ia gunakan ilmunya untuk memudahkan sesama. Ia hindarkan dirinya dari keserakahan dan keinginan menguasai semesta.
Namun bukan sembarang cinta. Ia lah cinta yang adil. Bukan yang buta.
Yang Menguasai Hari Pembalasan.
Setiap yang diamanahkan pasti kan diminta pertanggungjawaban. Dikaruniakan akal tuk memilih dengan bebas, namun tiap pilihan takkan lepas dari kewajiban. Maka hari pembalasan lah pengingatnya. Agar akal yang bebas ini tak kebablasan.
Maka para pembelajar sadar betul, tuk memastikan manfaat dari ilmunya. Sebab setiap ilmu kan dapat ganjaran. Semakin banyak tahu, makin banyak yang perlu dijaga, sebagaimana makin banyak yang bisa dijaga. Takwa, ujar Ash Shiddiq, serupa berjalan dengan amat hati-hati sementara di kiri dan kanan begitu banyak duri. Dan ilmu sejatinya adalah bekal tuk menjaga diri dari duri-duri itu.
Jadilah kita dapati para pembelajar nan berilmu adalah mereka yang sungguh-sungguh menjaga diri dari keburukan. Ilmu telah menjadikan mereka waspada. Ilmu telah mengarahkan mereka di jalan takwa. Ilmu telah mengokohkan imannya.
Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Banyak ilmu namun lalai jua?
Maka periksalah hatinya. Periksalah niatnya. Periksalah kejernihan jiwanya. Sebab hakikat ilmu adalah pengingat pada Penciptanya. Jika cahaya tak mempercerah jalan, jangan-jangan diri ini lah yang menutup mata.
Untuk itulah, sedalam apapun ilmu para pembelajar, doa mereka tetap memandang diri hina di hadapanNya..
Hanya kepadaMu kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan.
Kami ada di jalan ini demi Engkau. Kami menundukkan diri di hadapanMu. Maka mudahkanlah kami memahami dan mengamalkan apa yang kami ketahui. Jika bukan padaMu Sang Pemilik ilmu, pada siapa lagi kami bisa memohon?
Para pembelajar sejati, tak pernah merasa sendiri. Dalam lambatnya pemahaman, mereka bersujud dan memohon akses langsung padaNya. Dengan penuh takzim mereka berdoa…
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
Jalan terdekat pada ilmuMu. Yakni…
Jalan orang-orang yang Kau berikan nikmat.
Mereka yang telah lulus. Mereka yang telah kembali padaMu dengan selamat dan membuktikan janjiMu. Mereka yang telah Kau tinggikan di dunia dan akhirat. Mereka yang teguh melewati berbagai rintangan. Mereka yang memilih jalan yang mendaki, sebab hanya dengan mendakilah kami bisa menemuiMu di atas sana.
Bukan jaan orang-orang yang kau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.
Namun kami sadari, jalan itu tak mudah. Banyak orang yang menyerah. Banyak yang gemar pada ia nan semu namun tampak indah.
Jauhkanlah kami dari jalan itu, duhai Rabb. Jalan mereka yang mendapatkan ilmu namun menggunakannya untuk melawanMu, hingga Kau murkai.
Jauhkanlah kami dari jalan itu, duhai Rabb. Jalan mereka yang salah memahami ilmuMu, hingga tersesat dan tak kembali padaMu.
Inilah adab para pembelajar. Dimulakan usahanya dengan niat, dan dibalutnya dengan doa-doa. Sebab hidup ini bermula, berjalan, dan berakhir dalam semestaNya. Takkan sanggup kesombongan bersemayan di dalamnya. Sebab dalam tiap perjalanan, diri ini hanyalah titik kecil tak berarti di hadapanNya.
Para pembelajar di jalan ilmu adalah pemburu kekaguman pada ilmuNya. Penikmat lautan cintaNya. Lalu menyerah pada takdirNya, sebab takdir itu pun cinta pula.