Akhir pekan lalu, saya bersama beberapa penggiat Indonesia NLP Society menyelenggarakan forum belajar untuk internal, NLP Coach Certification – Accelerated Program. Disebut demikian karena ia memang khusus diadakan bagi penggiat yang telah menguasai NLP, dan ingin merangkainya menjadi sebuah ketarampilan melakukan coaching. Ini adalah pertemuan kedua kami, setelah 2 bulan lalu, dengan durasi 2 hari.
Ada sebuah kejadian menarik yang saya sungguh belajar amat banyak darinya. Ceritanya begini.
Salah seorang peserta, rekan kami Dewa Widiantara, sebenarnya telah mempelajari coaching sejak lama. Namun dalam perjalanan kami bertemu beberapa kali, ia kerap kesulitan menuntaskan sebuah sesi. Maka pada beberapa hari sebelum forum kami adakan, ia pun mengirim pesan WA yang isinya: Saya merekam gambar dan observasi saja ya, tidak usah latihan. Saya mengiyakan.
Singkat cerita, di hari kedua, ia mendapat kesempatan untuk menjalani sesi coaching dengan rekan kami Hendri Harjanto. Di sesi tersebut, Bli Dewa—begitu kami biasa memanggilnya—mungkin akibat terprovokasi oleh proses dalam forum, memutuskan untuk mengangkat keinginannya agar bisa berani berlatih 5 sesi setelah forum ini selesai. Alhamdulillah, sesi yang saya ikut observasi tersebut berjalan dengan baik. Bli Dewa pun tergerak untuk mulai berlatih saat itu juga!
Bagaimana hasilnya?
Luar biasa! Saya sungguh kagum. Sesi Bli Dewa kali itu begitu lancar, mengalir, bahkan menampakkan keterampilan yang cukup tinggi pada beberapa kompetensi. Saya yakin ini terjadi karena sebenarnya ia telah belajar cukup lama, dan menyerap cukup banyak. Namun entah bagaimana, seperti ada sesuatu yang menghalangi. Istilah saya, yang menyumbat. Dan hari itu, sesi coachingnya bersama Hendri telah berhasil membuka sumbat yang selama ini menghalangi. Lalu mengalirlah apa yang telah ia pelajari selama ini.
Ada 2 hal berharga yang saya pelajari hari itu.
Pertama, coaching does work. Saya sendiri saksi bagaimana sebuah sesi coaching yang dijalankan dengan baik akan mampu memfasilitasi seseorang mengeluarkan potensinya. Jawaban itu sudah ada di dalam. Klien hanya belum menyadarinya, sebab mungkin selama ini belum terkoneksi kepadanya. Coach yang kompeten akan sabar menjalani proses, tak menilai, tak menghakimi, tak tergoda memberi nasihat, hingga klien tercerahkan oleh potensinya sendiri.
Kedua, nah, ini seru nih. Saya belajar dari salah satu pertanyaan yang didemonstrasikan dengan amat baik oleh Bli Dewa. Ketika klien yang ditangani mengungkapkan sebuah alternatif solusi, ia mengajak klien untuk mengecek ke dalam diri, akankah solusi tersebut sudah merupakan jawaban atas pertanyaannya. Klien menjawab, “Seperti ada pertanyaan dari dalam diri saya, ‘Apa iya bisa? Apa iya mungkin?’”
Dan setelah menunggu beberapa saat, Bli Dewa mengajukan sebuah pertanyaan yang brilian.
“Dan kalau itu pertanyaannya, maka apa kira-kira jawabannya?”
Boom!
Saya sendiri tercerahkan. Apa pasal?
Ya karena kondisi serupa kerap saya alami. Pikiran saya mengemukakan sebuah solusi, lalu ia digoda oleh pikiran lain, dan saya pun berhenti. Padahal, saya bisa bertanya ke dalam diri, “Jika itu pertanyaannya, maka apa jawaban saya?”
Dan saya pun penasaran. Saat Anda membaca artikel ini, lalu teringat dengan sebuah keraguan yang kerap muncul, apa yang kemudian terjadi jika Anda tanyakan pertanyaan yang sama?