“Tubuh yang tak diberi makan kan lemas dalam gerakan. Pikiran yang tak diisi ilmu kan lemah dalam pemahaman.”
Makanan bagi tubuh adalah bahan bakar. Agar bisa tetap hidup dan bergerak sesuai kebutuhan, tubuh perlu diberi makanan yang sesuai. Cukup adalah salah satu kuncinya. Tepat adalah kunci lainnya. Cukup jumlah namun tak tepat kebutuhan, atau tepat kebutuhan namun tak cukup, keduanya buruk bagi badan. Apatah lagi jika berlebihan. Jangka pendek mungkin tak terasa, jangka panjang lah baru dampaknya nyata. Maka lemasnya tubuh adalah gejala kurang cukup dan tepatnya makanan. Insan yang merasakan lemas biasanya kan langsung menyadari dan menggerakkan diri untuk mencari makanan.
Begitu dampak makanan pada tubuh, begitu pula dampak ilmu pada pikiran, pada pemahaman. Cermati sedikit saja berbagai hal, kan kita dapati semua ada ilmunya. Memasak nasi pun, kegiatan yang kini makin sederhana itu, tetap menyisakan ruang bagi pikiran untuk memiliki ilmunya. Kurang sedikit saja ilmu, nasi tak jadi dengan sempurna. Tak nikmat dimakan jadinya. Serupa dengan makanan bagi tubuh, ilmu bagi pikiran pun mesti memenuhi 2 kaidah: tepat dan cukup. Gejalanya adalah pemahaman. Tiap ada nan tak kita pahami, ia lah tanda ilmu mesti dicari.
Sebuah tanya pun muncul: bagaimana dengan insan yang tak merasa kurang pemahaman? Yang dalam keyakinannya semua cukup-cukup saja?
Wah, waspadalah wahai diri. Waspada akan penyakit ini.
Mencari ilmu wajib bagi tiap hamba, sebab pada tiap waktu dan tempat ada tugas yang mesti ditunaikan. Tidak pernah ada satu hari pun yang kita lalui sama dengan kemarin. Apa nan kita pahami kemarin, hanya bisa kita gunakan sebagai perkiraan tentang apa yang kan terjadi nanti. Ya, hanya perkiraan, bukan kepastian. Maka Sang Teladan Mulia menasihatkan tiap diri untuk menuntut ilmu, dari buaian hingga kematian. Sebab tiap jalan ada petunjuknya, jika tak ingin tersesat tanpa disadari. Maka insan yang berhenti menambah ilmu, bisa dipastikan ketersesatannya nanti. Ia hidup dalam misteri, padahal sedikit saja usaha tuk belajar kan menyibak kegelapan yang menyelimuti.
Malas untuk belajar adalah penyakit. Ia bukan fitrah insani. Tengoklah anak-anak yang telah mulai bisa merangkak dan berjalan sendiri. Adakah mereka bermalas-malasan? Tidak! Mereka kesana kemari, mencoba itu dan ini, bergairah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Maka insan yang kehilangan gairah menambah ilmu pastilah sedang sakit. Ada bakteri atau virus dalam diri yang mesti diperangi. Serupa tubuh yang sakit lalu kehilangan semangat.
Lalu, bagaimana mengatasi penyakit ini? Bagaimana membangkitkan gairah belajar kembali?
Pertama, berkumpullah dengan orang-orang yang lebih pandai, yang panjang manfaatnya bagi kehidupan. Bagaimana janjiNya telah nyata dipenuhi, mereka diberi derajat lebih tinggi sebab ilmu yang dimiliki. Lalu bandingkan dengan diri yang masih seperti ini. Mudah-mudahan timbul gairah sebab terbuka kesadaran akan masih terbukanya ruang belajar bagi diri.
Kedua, tengoklah aib diri. Betapa banyak kekurangan yang mesti dibenahi. Tiadalah jalan lain, selain mengumpulkan ilmu tuk memperbaikinya.
Ketiga, cermatlah pada sekeliling. Begitu luas ladang amal belum tergarap oleh diri ini, karena ilmu belum dimiliki.