“Jangan pakai baju warna putih, gampang kotor,” nasihat orang tua sewaktu kecil kala kami meminta izin untuk mengikuti kegiatan lapangan. Persis seperti persepsi sebagian orang yang juga enggan memiliki cat, kendaraan, atau benda-benda lain yang berwarna putih, sebab dirasa lebih mudah kotor dibanding warna lain.
Benarkah demikian?
Tentu tidak. Soal kotor, semua warna sejatinya sama saja. Sebab kotor itu disebabkan oleh kondisi yang dialami, bukan oleh warna yang dimiliki. Hanya saja, warna putih, berbeda dengan warna lain, lebih mudah menampakkan warna kotoran. Debu berwarna kecoklatan takkan tampak di baju berwarna coklat pula. Namun sedikit saja ia menempel di baju berwarna putih, langsung tampak belaka. Maka warna lain bukannya tak lebih mudah kotor, namun mereka tak mudah menampakkan kotoran, sebab warnanya sendiri telah menutupi.
Syahdan, pemahaman ini mengingatkanku pada momen-momen Ramadhan. Betapa ia sering membuat diri ini lebih mudah mengenali aib yang menyelimuti. Apa pasal? Sebab selama bulan inilah, kita menahan dari yang halal, sehingga yang haram makin tampak jelas. Ibarat warna pakaian, dalam Ramadhan, jiwa-jiwa menjadi lebih memutih, sehingga cacat-cacat sedikit saja demikian tampak. Pada baju yang berwarna putih, kita demikian peka pada kotoran, dan karenanya sering segera mencucinya. Dan untuk memastikan kebersihannya, kita tambahkan pula cairan khusus pemutih. Begitu pun pada Ramadhan, entah bagaimana, banyak diri tak saja sanggup menahan dari berserakannya keburukan, melainkan juga terdorong untuk menyucikan dengan lebih banyak lagi yang dianjurkan.
Tak heran, pada para pemuda yang belum mampu menikah, disarankan untuk berpuasa. Sebab puasa itu kan menjadi benteng baginya. Ya, kala puasa, hati ini lebih jernih mengambil jarak dengan keseharian, dengan kebiasaan, dengan berbagai pikiran dan perasaan. Jadilah ia mudah mengenali halusnya bisikan hawa nafsu.
Nikmati puasamu, wahai diri, untuk menginsyafi dan mencela keburukan yang menyelimuti. Ayat-ayatnya bergema, namun kau tak sanggup menghayati, bisa jadi sebab berkeraknya keburukan itu.
“Sebenarnya, bukan mata itu yang buta, tetapi hatinya yang buta.” (Al Hajj: 46)
Semoga kita belum termasuk yang buta, melainkan rabun saja, sebab kaca mata ini bertumpuk debu-debu dosa.
“Allah lah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmatNya (hujan). Apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian, Kami tumbuhkan dengan hujan itu beragam buah-buahan. Seperti itulah, Kami membangkitkan orang yang telah mati. Mudah-mudahan kamu bisa mengambil pelajaran. Tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan. Sebaliknya, tanah yang buruk, tanam-tanamannya tumbuh merana.” (Al A’raf: 57-58)
Sungguh anugerahnya tak pernah berhenti. Sungguh mudah bagiNya membangkitkan kembali hati yang mati. Adakah diri ini adalah tanah yang baik, yang kan menumbuhkan tanaman iman dan amal nan subur?