“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri.”
Ar-Ra’d: 13
Gagal merencanakan, berarti merencanakan kegagalan.
Demikian nasihat ini kudengar sejak dulu. Merencanakan sesuatu perlu kesungguhan, sesungguh menjalankannya. Sebaik-baik rencana adalah ia yang mudah dijalankan. Sedang visi yang tak berujung pada aksi, kerap gagal dalam soal perencanaan ini.
Hampir tak ada seorang pun yang menginginkan hari yang buruk. Hari yang berakhir hampa, tak menghasilkan apa-apa. Bahkan mereka yang sedang lelah dan ingin bersantai di rumah pun, menghendaki santai yang kan berujung menyegarkan. Bukan santai yang tanpa hasil, hingga berjam-jam dihabiskan, namun pikir-rasa-tubuh tak kunjung kembali kekuatannya.
Tak satupun karya besar manusia lahir tanpa perencanaan. Rumah, gedung, kendaraan, pakaian, semuanya memerlukan rencana. Dan para ahli dalam menciptakan karya, adalah mereka yang ahli dalam merencanakan. Seorang arsitek bisa melihat gambaran rumah yang bisa dihasilkan kala menatap sebidang tanah. Seorang pebisnis mampu memperkirakan potensi yang kan lahir dari sebuah gedung. Seorang desainer bisa merancang dalam benaknya, sebuah baju yang pas untuk seseorang hanya dengan memperhatikan fisiknya sekilas. Bahkan benda sekecil peniti, niscaya diciptakan dengan sebuah rencana. Jika demikian adanya, mengapa waktu ini, hidup ini, banyak yang tak merencanakan?
Adakah seorang pembeli jasa arsitek bersedia bertaruh uang pada seorang yang tak memiliki rencana dalam membangun rumah pesanannya?
Adakah seorang pengguna jasa angkutan umum kan mau bertaruh waktu dan uang pada bis yang tak jelas rutenya?
Tentu tidak!
Dan jika tidak, wahai diri, sudahkah kau rencanakan harimu? Kau mungkin memiliki rencana tahunan, bulanan, mingguan. Dan itu semua bagus adanya. Namun sejatinya, apa yang kan terjadi pada minggu, bulan, dan tahun, hanyalah buah dari apa yang dilakukan setiap hari. Dan sungguh, begitu banyak insan lalai pada hal ini. Bangun dan menjalani aktivitas yang telah menjadi kebiasaan, lalu pulang dengan tubuh lelah dan hati nan hampa. Bertahun-tahun lamanya, hingga tersadar suatu kali, lalu menengok ke belakang dan bertanya, “Apa saja yang telah kuhasilkan selama ini? Adakah ia membanggakanku? Adakah ia persembahan terbaikku kala menghadapNya kelak?”
Lalu hening. Lalu sesal. Lalu hampa kembali.
Duhai diri, Allah tidak kan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka bersungguh-sungguh mengubah nasibnya sendiri. Dia memang penguasa takdir, namun kau dibekalinya potensi tuk menjalani takdir. Menetapkan takdir itu urusanNya, tapi menjalankan takdir itu tugasmu. Nasibmu takkan berubah jika kau tak mengambil peranmu. Itulah sunnahNya. Dan nasibmu takkan berubah, jika kau menyerah pada keseharian yang menghimpitmu.
Rencanakan harimu, wahai diri, dengan bertanya dan menuliskan, “Apa saja hal yang bisa kulakukan esok, yang kan mengantarkanku pada visi hidup? Pada target? Pada harapan untuk menjadi orang yang lebih baik?”
Hal yang teramat penting biasanya tak berjumlah banyak. Namun jika ia tak dijadwalkan lebih dulu, kesibukan kan melindasnya. Sungguh banyak orang tak mencapai apa yang diinginkan, bukan karena malas, namun karena sibuk. Dan kesibukan, sungguh takkan pernah berhenti. Semakin bernilai seseorang, semakin ahli ia, semakin banyak orang hendak meminta bantuannya, mengandalkannya, mempercayainya. Maka yang paling penting justru kan terabaikan, oleh berbagai kepentingan lain ini.
Rencanakan harimu, wahai diri, agar makin banyak hari yang berakhir dengan penuh arti. Memang, ada yang mengatakan bahwa tanpa perencanaan pun ia kerap berhasil jua. Pada yang demikian, kita sungguh bertanya-tanya, bagaimana kah keberhasilan itu kan semakin baik, semakin menyeluruh, semakin mendalam, jika ia direncanakan dengan sungguh-sungguh.
Benar, tak ada rencana yang sempurna. Maka rencana yang membuka pemahaman tuk memulai langkah awal sejatinya sudah cukup. Namun jangan pernah menjalani setiap hari tanpa rencana. Bahkan jika di hari itu kau berkeinginan untuk berlibur dan memulihkan diri. Betapa banyak orang yang meliburkan diri, hanya sekedar menjalani aktivitas yang rupanya tak menyegarkan dirinya. Aktivitas yang menyenangkan, tak selalu menyegarkan.