“Pada yang berharap dunia, kefakiranlah yang kan selalu dirasakannya.”
Beberapa waktu lalu, aku belajar pada Pak Bagus Riyono. Salah seorang guru dalam ranah Psikologi Industri dan Organisasi yang menjelma menjadi Pakar Psikologi Islam. Salah satu teori yang beliau temukan adalah teori Anchor. Inilah teori yang membuka ruang dalam ranah psikologi untuk menjelaskan tauhid. Bahwa sejatinya hati ini selalu memerlukan tambatan, jangkar. Maka pada apakah hati ini tertambat, menentukan kekokohan jiwa.
Lama diri ini merenungi hari-hari yang telah dilalui. Kusadari, bahwa masa-masa lemah, malas, lesu, adalah kala hati ini ditambatkan pada yang setara. Ketika kerja, tanpa sadar kutambatkanlah pada pekerjaan, perusahaan, atasan, rekan, pelanggan. Hingga kala tak berbalas harapanku dari mereka, kecewa lah yang terbit seusainya. Padahal kesemuanya setara saja dengan diriku, sama-sama makhlukNya. Sedang adalah tabiat makhluk diciptakan dengan keterbatasan, takkan sanggup memberikan apa yang tak dimilikinya.
Lalu malam ini, aku dihadapkan pada kitab Ihya. Imam Al Ghazali mengutip hadits yang meski dinilai berstatus dhaif, namun sungguh sarat makna.
“Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan dunia menjadi cita-citanya yang terbesar, maka ia tak mendapat bagian sedikit pun dari Allah. Dan Allah akan menetapkan pada kalbunya empat perkara. Pertama, kesusahan yang tidak putus selama-lamanya. Kedua, kesibukan diri yang tidak akan habis-habisnya. Ketiga, kefakiran yang tidak mencapai kecukupan selama-lamanya. Keempat, angan-angan yang tidak mencapai kesudahan selama-lamanya.”
Duhai, ini rupanya. Sebab hati ini hanya bisa ditempati satu saja, maka terisinya ia dengan dunia kan menjauhkannya dari akhirat. Padahal dunia hanyalah sependek-pendek perjalanan, yang melahirkan sepanjang-panjang kesudahan. Bayangkan, hanya sebab dunia menjadi cita-cita terbesar, maka didapatlah empat perkara yang demikian mengerikannya.
Duhai, ini rupanya. Aku bekerja untuk atasan, bawahan, perusahaan, rekan, dan pelanggan, sedang mereka semua punya keterbatasan. Maka kala ia tak adil menilaiku, kecewalah diriku. Lalu lahirlah kesusahanku, bertambahlah kesibukanku, merasa fakirlah diriku, dan semakin panjang angan-anganku.
Duhai, ini rupanya. Padahal pada tiap kerjaku ada nilai ibadah padaNya. Pada niatku, pada senyumku, pada kesungguhanku, pada ketekunanku, bisa kutambatkan sebagai persembahan kepadaNya. Aku tersenyum bukan tersebab SOP, melainkan karena ingin membahagiakan saudaraku. Aku rapi bukan karena aturan kantor, tapi sebab Dia menyukai keindahan. Aku tekun bukan ditekan oleh kebijakan perusahaan, namun ihsan, dalam tiap detik diperhatikan olehNya. Aku menambah kompetensi bukan agar naik gajiku, melainkan sebagai perwujudan syukur atas nikmat kemampuan berpikir yang telah Dia karuniakan kepadaku.
Duhai, ini rupanya. Aku terlahir bukan tuk mengabdi pada dunia, melainkan memakmurkannya. Tak ada yang kumiliki, semuanya hanyalah dipinjami. Lalu mengapa pula ku merasa ada yang kupunyai? Salah, sungguh salah. Dan karena itulah cemasku tak berkesudahan.
Duhai, ini rupanya. Ku tengok mereka yang menambatkan hati padaNya, damai hati terasa. Jauh, jauh lebih produktif hidupnya, sebab segala usaha dikerahkan demi mempersembahkan sebaik-baik hidup sebagai bekal kembali kepadaNya.