“Siapapun yang berbuat kesalahan dan menganiaya dirinya sendiri, lalu ia memohon ampunan kepada Allah, pasti ia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
An Nisa’: 110
Berbuat kesalahan (dosa), dalam firmanNya yang satu ini, disetarakan dengan menganiaya dirinya sendiri. Sebab sesejatinya, insan telah bersaksi ketika ia diciptakan, bahwa Dia lah satu-satunya tempat bersandar. Sebuah kesaksian yang murni, jernih, karena memang tak ada lain pencipta selainNya.
Maka kehidupan setiap diri sebenarnya haruslah merupakan persembahan kepada yang menciptakannya. Penghambaan total karena memang dirinya bukanlah miliknya. Ia hanyalah ciptaan yang dimuliakan dengan segala nikmat dan anugerah. DiberikanNya pada ciptaan ini akal, hati, jiwa, dan beragam karunia, dan kebebasan memilih.
Saking bebasnya, ciptaan ini kerap lupa pada Penciptanya, dan berujung pada melawan perintahNya. Meskipun sebenarnya, kebebasan ini semu belaka. Dalam hati, di lubuk terdalam jiwa, tak pernah hilang suara yang merintih tiap kali diri berbuat kesalahan. Sebab pada tiap kesalahan, tertitiklah noda hitam pada hati. Yang di kala baru sedikit, ia mudah hilang laksana debu tertiup angin. Namun tumpukannya, sedikit demi sedikit, lama-kelamaan, menjadi kerak yang susah hilang. Serupa cermin yang kehilangan kejernihannya, hingga tak lagi sanggup memantulkan kemurnian wajah yang berkaca.
Suara rindu itu tak pernah hilang. Ia hanya semakin pelan, sebab tertutupi. Namun di ketenangan, dalam perenungan, sayup-sayup ia tak henti mengajak tuk kembali. Karena itulah sejatinya insan yang berbuat dosa disebut sebagai menganiaya dirinya sendiri. Ia selalu memiliki kompas tuk kembali, namun ia memilih pergi menjauhi. Bagaimanakah kendaraan yang pergi menjauhi sumber energinya? Ia bisa berjalan, namun lama-kelamaan kan kehabisan tenaga dan mesti berhenti. Gelisah, cemas, takut, hampa, adalah sebagian tanda perlunya insan tuk mengisi bensin lagi.
Kita selalu berada dalam perjalanan kembali. Suka tidak suka. Sejauh apapun berusaha menghindar, mau ke mana kah lagi, sedang semua hal adalah milikNya? Pertanyaanya adalah, pada rumah mana kah kita kan kembali? Pada rumah kemurkaanNya, atau keridhaanNya?
Jika rumah keridhaan yang kita kehendaki, yakni rumah yang merupakan rumah sejati diri, maka ketahuilah wahai diri, jalan ke sana itu jelas dan terang. Ia lah jalan yang benar, yang petunjuknya telah diturunkan dari generasi ke generasi. Tak ada satu pun umat yang tak diturunkan petunjuk berikut pemberi petunjuknya. Jalan keridhaan itu jernih, ia menentramkan hati.
Namun jika rumah kemurkaan yang kau kehendaki, maka sadarilah jalan ke sana itu gelap nan suram. Ya, ia justru berliku, rumit, dan berakhir pada kegelisahan. Ia tampak mudah di depan, namun menyulitkan di belakang. Sebuah nasihat pernah diutarakan oleh Buya Hamka pada anak beliau. Bahwa pembohong itu tidak boleh pelupa. Sebab kebohongan itu pasti akan perlu ditutupi oleh kebohongan lain. Sedang orang yang jujur, yang jernih, yang lurus, mungkin tampak perlu keberanian di depan, tapi jalan setelahnya luas dan lapang. Ia tak perlu khawatir menjalani hari-hari ke depan. Ia bisa jadi pelupa, sebab kejujuran itu tak menimbulkan masalah di masa mendatang, jika pun tak diingat-ingat.
Jadilah insan yang bersih dari dosa, yang jujur dan lurus hatinya, ia lah mereka yang produktif hari-harinya. Tak ada kerisauan dalam jiwa, hingga bisa mengerjakan banyak hal tanpa terbeban apa-apa.
Adakah insan yang bersih dari dosa?
Tentu tidak. Maka petunjuknya jelas di atas. Sesiapa yang berbuat kesalahan dan menganiaya dirinya, hendaklah segera memohon ampunan dan lakukan perbaikan diri. Meski harus berkali-kali. Sungguh Dia takkan pernah bosan pada pertaubatan.