“Tiap hal ada tempatnya.”
Salah satu ciri kemajuan adalah ketertataan. Sesuatu yang tertata kan mudah ditemukan, ditelaah, dipelajari, dibangun kembali di atasnya. Betapa di era ini, aku kerap terkejut dengan desain rumah yang ukurannya mungil, namun karena penataan yang ciamik, terasa amat nyaman dan lapang. Sebaliknya, ruangan yang sejatinya cukup luas, tetiba terasa sempit, sumpek, dikarenakan isinya yang tak tertata.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Asy Syams: 10-11
Jika yang sering disucikan disebut jiwa yang beruntung. Bisa jadi karena jiwa yang suci jernih adanya. Pikiran dan rasa tertata, hingga gejolak yang terjadi di sekeliling tak mudah menggoyahkannya. Sementara jiwa yang dikotori, ia penuh dengan berbagai hal yang berantakan, hingga terbebani oleh keburukannya sendiri. Pikiran dan rasa kusut, dan sedikit saja ujian telah menggemparkan dunianya.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”
Al Mulk: 3
Dia ciptakan dunia ini dalam keteraturan. Dia menantang kita tuk memperhatikan, menghitung, memikirkan, merenungkan, memastikan, adakah ada ketidakteraturan, ketidakseimbangan dalam ciptaanNya. Cobalah, niscaya tak akan ditemukan. Maka berantakan bukanlah fitrah diri. Kita diciptakan seimbang, tertata rapi. Tak menata diri berarti menjauhkan diri dariNya yang telah mempertontonkan keteraturan dalam penciptaanNya.
Keunggulan, bukanlah disebabkan oleh hal-hal besar nan luar biasa. Ia lahir dari hal-hal biasa yang dikerjakan dengan ketekunan, kesungguhan, ketertataan. Pernah kualami salah satu ban mobilku kekurangan udara. Tak kusadari pada awalnya. Yang terasa hanyalah laju yang melambat dan kemudi yang tak seimbang. Satu, ya, hanya perlu satu ban saja yang kekurangan udara, untuk membuat keseluruhan laju tak sempurna.
Apatah lagi, ketertataan tidak saja berdampak bagi diri. Yang lebih penting ialah ia berdampak pada orang lain. Istriku sering mengeluhkan tiap kali memerlukan gunting kuku. Rumah kami memiliki 4 buah, namun selalu saja memerlukan waktu kala ia dibutuhkan. Apa sebab? Peletakan kembali yang tak tertata, tiap kali ia selesai digunakan. Sebaliknya, pernah kutemui sebuah sekolah yang teramat bersih padahal hanya memiliki sedikit saja petugas kebersihan. Bagaimana caranya? Dengan melatih secara tekun, tiap orang untuk membuang sampah pada tempatnya. Ya, “buanglah sampah pada tempatnya” bukanlah sekedar jargon di sekolah itu. Mereka membentuknya hingga jadi budaya. Hasilnya? Ketertataan, kerapian, keindahan, dengan sumber daya yang secukupnya.
Tiap hal ada tempatnya. Maka ia yang tak pada tempatnya kan mengganggu, merusak. Paku, kala berada tuk mengikat kayu, ia bermanfaat adanya. Namun di tengah jalan? Merusak ban jadinya. Tak mengherankan, menghindarkan duri dari jalanan merupakan bagian dari keimanan. Sebab kita meyakini bahwa bukanlah jalan tempat duri. Keberadaannya bisa merusak kaki orang yang tak sadar. Menyingkirkannya berarti peduli pada orang banyak. Dan itulah tanda kepedulian. Maka Dia catat sebagai kebaikan.
Rapikan diri, wahai insan. Jika pun tidak pada semua hal, setidaknya pada hal yang kunci dalam hidupmu. Kembalikan sesuatu pada tempatnya. Agar mudah mengenali dan mencarinya. Satu menit yang terbuang tuk mencari yang tak tertata rapi tiap hari, sungguh kan jadi puluhan menit dalam hitungan minggu. Dan kau tentu tahu, wahai diri, apa saja yang bisa dilahirkan dalam puluhan menit itu.