“Iman meyakinkan diri bahwa ada kemungkinan di depan sana, meski belum tampak di depan mata.”
Perasaan terbebani itu muncul kala kapasitas tak sebanding dengan apa yang harus ditampung. Jika tak pernah angkat barbel, maka beban 1 kg saja sudah membuat tangan pegal. Namun latihan rutin seminggu saja, 1 kg itu tetiba terasa ringan. Bukan sebab barbel yang berkurang beratnya, tapi karena kapasitas tangan yang meningkat. Maka rutin berlatih dengan meningkatkan beban secara bertahap akan meningkatkan kapasitas terus-menerus.
Terus-menerus?
Tentu ada batasnya. Bagaimana pun hebatnya tubuh, takkan sanggup menahan beban rubuhnya bangunan. Maka menimpakan beban yang berlebihan pada hal yang kapasitasnya terbatas, akan menimbulkan kerusakan yang membahayakan. Mungkin ia tak langsung terasa dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, efeknya bisa amat merusak.
Aku teringat nasihat seorang teknisi yang memasang mesin cuci di rumah keluarga kami dulu, “Mesin cuci ini sanggup mengolah beban 6-7 kg, tapi jika mau sabar dengan 5 kg saja, akan lebih awet.” Sarannya terbukti. Mesin itu bertahan hingga kurang lebih 10 tahun.
Tak bisa dipungkiri, begitu banyak hal yang tak bisa kita kendalikan. Manusia sungguh hanya diberi sedikit saja kekuatan. Meski yang sedikit itu pun bukan hal yang remeh, ada jauh lebih banyak hal yang diri ini hanya sanggup menerimanya saja.
Terus, gimana dong?
Ya, nggak gimana-gimana. Sebab yang tak bisa dikendalikan itu memang bukan tugas kita. Bukan tolok ukur keberhasilan kita sebagai manusia. Siapa yang jadi orang tua kita, misalnya, tak bisa kita kendalikan. Karenanya apa yang keduanya lakukan takkan jadi pertanggungjawab kita. Namun bagaimana kita berperilaku pada keduanya kan tercatat dan dihitung pada waktunya kelak.
Siapa jodoh kita, kondisi ekonomi, siapa yang jadi presiden, siapa yang jadi atasan, kondisi cuaca, dan masih banyak lagi, sungguh bukan hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita secara langsung. Tapi apa yang kita kerjakan di dalam kondisi itulah yang menjadi tanggung jawab kita. Maka fokuslah di sana, wahai diri.
Ditakdirkan berada di bawah atasan yang cerewet, misalnya, itu bukan urusan kita. Namun respon kita, kesungguhan kita bekerja dalam arahannya, profesionalitas kita di bawah tekanannya, itu urusan kita, tanggung jawab kita. Ya, kecerewetannya itu urusannya. Kerja itu urusan kita.
“Sungguh unik urusan seorang mukmin. Pada susahnya ia bersabar, dan itu baik baginya. Pada senangnya ia bersyukur, dan itu baik baginya.”
Pada susahnya, ia tetap tekun dalam kesabaran. Tidak sejenak mengurangi kesungguhan meski hasil belum kelihatan. Pada senangnya ia bersungguh dalam kesyukuran. Tidak sejenak pun terlena dengan kenikmatan dan melihat itu semata adalah karunia.
Dan ini memerlukan iman. Hanya imanlah yang jadikan keduanya mungkin terjadi. Iman mengajak kita melihat jangka panjang. Iman meyakinkan diri bahwa ada kemungkinan di depan sana, meski belum tampak di depan mata.