“Berjalankah terus, meski ada rintangan.”
“Alon-alon, waton kelakon.” Biar lambat, asal tertunaikan. Kerap juga dimaknai, biar lambat, asal selamat. Inilah nasihat yang kerap kudengar sebagai keturunan orang Jawa Tengah. Nasihat yang kemudian rupanya menimbulkan kesalahpengertian yang fatal.
Kok fatal?
Ya. Sebab nasihat ini acapkali dimaknai sebagai penyebab banyak orang bergerak lambat, tak ingin bergegas, tak apa terlambat yang penting sampai di tujuan.
Benarkah demikian?
Rupanya tidak. Makna asli dari nasihat ini, ajar seorang sahabat, justru sebaliknya. Ia sungguh bukan nasihat tuk berleha-leha, berlambat-labat, bersantai-santai, yang penting sampai. Ini adalah filosofi kehidupan yang mengajarkan diri tuk selalu tangguh. Sebab makna aslinya adalah:
“Teruslah berjalan, meski ada rintangan.”
Tengoklah data tren. Mencermati serangkaian data beberapa tahun, misalnya, kita kan dihadapkan pada sebuah kecenderungan peningkatan, penurunan, atau pergerakan, yang mencerminkan sebuah tren. Namun meski tampak bergerak, data aslinya tak pernah benar-benar mulus serupa garis tren yang diciptakan dari hasil analisa data itu. Jika dilihat lebih jernih, akan selalu tampak bahwa data yang sebenarnya selalu naik atau turun dari garis imajiner tren yang disusun sang analis.
Simpulannya, kenyataan selalu penuh dengan kejutan. Kita hanya mampu memahami sebuah tren, setelah melaluinya. Sebab kala dihadapkan pada data yang nyata, yang sebenarnya, yang tampak di depan mata adalah kejadian demi kejadian yang tampak acak.
Ya, hidup adalah rangkaian ujian—dan karenanya rangkaian rintangan. Kita baru bisa diketahui maksud dan tujuan di baliknya, setelah melaluinya. Tapi bagaimana kita sanggup melewatinya, jika yang tampak di depan mata adalah kesulitan yang tak henti-hentinya?
Dengan memasang tujuan. Tujuan yang menginspirasi. Tujuan yang penuh makna. Tujuan yang menembus kehidupan dunia.
Lalu berjalanlah terus, menuju ke arahnya. Karena tiap rintangan itu unik nan baru, tentu banyak cara mengatasi yang diri ini belum tahu. Bagaimana kita tahu bahwa sesuatu yang baik menunggu di baliknya?
Dengan terus berjalan. “Pukulan yang tak mematikanmu, membuatmu lebih kuat,” demikian pepatah Arab. Jika usia ini masih tersisa, berarti masih ada tugas yang belum tertunaikan. Maka solusi atas tiap masalah pastilah masih pula tersedia. Jikapun tak ada, pasti pulalah kita telah dipanggil kembali olehNya.
Bisa jadi sesuatu itu tampak baik, namun sejatinya buruk. Bisa jadi sesuatu itu tampak buruk, namun sejatinya baik. Dari mana kita tahu?
Dengan terus berjalan, meski ada rintangan.
“Kesimpulanku, kita ini memang hanya diperintahkan untuk istiqamah,” cerita seorang sahabat. “Sebab naik dan turunnya tak pernah bisa ditebak. Kadang yang dulu baik, tetiba menjadi buruk. Yang dulu tampak buruk, sekarang demikian bermanfaat.”
Lalu kita mesti memilih yang mana?
Jalan yang benar. Meski yang benar itu kadang babak belur diterjang kesulitan. Sebab kita memang tak pernah diminta pertanggungjawaban akan hasil. Hasil itu karunia dan rahasiaNya. Namun cara mendapatkan hasil, itulah yang kan ditanya kelak.
Maka teruslah berjalan, meski ada rintangan.
Rasanya sangat sakit kalau terus bertahan. Karena dalam perjuangan menuju impian saya. Sejatinya saya terus memaksa dan mendorong diri. Sekaranv sy sedang dalam fase lelah dan pikiran saya sudah sering meneriakkan kata lelah dan lelah. Sy pun sengaka mencari blog Pak Teddy untuk mendapat sugesti positif.
Sy sampai sengaja mencari nasihat. Karena memang sekarang perasaan berat ini begitu menyiksa pak.
“Pukulan tak mematikan” ini benar2 bikin sesak batin saya.
Sesak adalah tanda apa yang kita miliki sudah terlalu sempit, dan selayaknya diperluas.