Jika tak ada kegaiban, kehidupan takkan berarti.
Salah satu ciri insan nan bertakwa, insan nan diperuntukkan baginya petunjuk mulia bertajuk Al Qur’an, ialah keyakinan pada yang gaib. Sungguh aku kesulitan memahami hal ini. Mengapakah kiranya keyakinan pada yang tak tampak ini merupakan ciri ketakwaan. Sedang takwa itu sendiri didefinisikan sebagai sesungguh-sungguhnya menjalani hidup, dengan indikator menjalankan semua perintah dan menjauhi segala larangan?
Baru belakangan aku mulai paham. Dan untuk itu, kita perlu sedikit bereksperimen pikiran. Ada sekumpulan murid di sebuah kelas sedang menjalani ujian. Mana yang akan cenderung mengerjakan dengan jujur, tak tergoda untuk mencontek dan bekerja sama, yang sedang diawasi oleh guru atau yang tidak?
Jika keadaan kelasmu sama seperti kelasku pada zaman dulu, maka yang diawasi lah yang cenderung kan jujur.
Maka begitu sang guru keluar beberapa menit saja, godaan itu mulai muncul. Dimulai dari saling memberi kode, hingga saling bertukar jawaban.
Mengapa demikian? Ya karena sang guru tak tampak. Jika tak lama kemudian beliau kembali, segeralah para murid kembali pula bekerja dalam damai.
Lalu apakah tak ada harapan bagi kelas yang tak diawasi untuk dapat menjadi murid yang jujur?
Tentu ada. Dan banyak yang demikian.
Apa pasal?
Karena mereka meyakini bahwa mereka sedang diawasi, bahkan ketika sang guru tak ada. Mereka percaya betul bahwa sang guru bisa datang kapan saja. Apalagi jika beliau pernah mengatakan, “Kelas ini diawasi dengan CCTV. Saya bisa melihat setiap detik yang kalian lakukan meski tak sedang berada di kelas.”
Sang guru tak kasat mata. Namun kehadirannya dirasakan. Sang guru tak berada, namun keberadaannya nyata. Ada beda, ajar seorang guruku, antara ada, berada dan keberadaan.
Adakah murid yang tetap kan mencontek dengan pesan guru seperti ini?
Ada. Siapa?
Ia yang tak tahu. Ia yang tak yakin. Dan ia yang tak peduli, alias pembangkang, tak khawatir akan konsekuensi.
Maka kelurusan perilaku, terjadi akibat apa yang diyakini di dalam pikiran dan hati. Murid yang jujur meyakini kehadiran gurunya bukan di depan mata fisik, melainkan mata batinnya. Ia takut konsekuensi bukan lantaran pernah mengalami, tapi karena membayangkan itu menimpa dirinya, dalam pandangan hatinya.
Jadilah insan yang teguh dalam kebenaran, ialah ia yang teguh meyakini kegaiban. Melihat apa yang tak terindera. Dan karena inilah ia terjaga.
Sisi lain, ia yang tak tahu, tak memiliki gambaran batin yang membimbing tindakannya. Ia berpotensi mengambil jalan berkelok karena tak paham jalan yang lurus. Belum ada dalam pikirannya rute yang tercepat itu. Insan seperti ini masih mungkin selamat, jika ia memiliki keinginan belajar nan kuat. Atau setidaknya mempunyai keterbukaan pikiran akan apa-apa yang belum diketahuinya. Ilmu adalah cahaya. Barisan kode pembentuk pikiran. Ketika pikiran terbuka, membiarkan dirinya dibentuk dengan baik oleh ilmu, ia kan mampu memaknai apa-apa yang tadinya samar. Maka yang gaib bagi mata fisik, seketika nyata bagi mata pikiran.
Bagaimana dengan insan yang tak yakin? Ia lah yang juga mendapati ilmu, namun menutup pikiran. Jika pun ada yang masuk, tak pernah sepenuhnya. Jadilah pikiran yang terbentuk tak sempurna. Kemampuannya memahami makna pun banyak cacatnya. Kegaiban tak bisa dicernanya. Kapasitas pemahamannya terbatasi oleh keangkuhannya.
Masih ada kah harapan?
Tentu ada. Sekali saja ia membuka mata, karena mendapat hidayah atau ujian, ilmu yang tersedia kan masuk seketika.
Yang agak rumit ialah jenis ketiga. Ia membangkang, dan tak sekedar menutup pikiran. Namun memasang penutup yang berlapis-lapis. Bukan saja keangkuhan, tapi juga telah bercampur di dalamnya kebencian. Ujian tak serta merta mengubahnya. Kesusahan tak jua membuatnya jera. Inilah gambaran sebagian umat terdahulu, yang profilnya masih ada hingga kini. Mengerikan, sungguh mengerikan. Semoga kita dijauhkan dari yang demikian.
Sampai di sini, mungkin dalam benakmu terbit sebuah tanya, mengapa pula ada kalimat seperti di atas tadi? Jika tak ada kegaiban, kehidupan tak berarti.
Manusia ialah makhluk yang digerakkan oleh makna. Karenanya, manusia dikaruniai kemampuan menciptakan makna. Dan makna adalah asosiasi yang kita buat antara satu hal dengan hal lain. Sebuah aroma bermakna makanan, artinya ia terhubung dengan pikiran lain tentang makanan. Sebuah lagu bermakna kenangan, berarti ia tersambung dengan ingatan akan masa lalu kala lagu itu kerap terdengar.
Nah, kehidupan sendiri ialah rangkaian makna yang kita ciptakan. Kita bekerja bisa saja karena uang. Tapi ketika ditambahkan tak sekedar uang, melainkan juga pengabdian atau pelayanan pada sesama, seketika sebuah pekerjaan menghadirkan berlipat-lipat energi. Menariknya, makna yang dihasilkan hanya dari apa-apa yang tampak kerap hanya memicu sedikit energi. Seperti para murid yang hanya menganggap keberadaan guru adalah ketika beliau tampak di depan mata. Sementara itu, murid yang jauh lebih sungguh-sungguh menjaga diri adalah mereka yang sanggup mempertahankan gambaran guru meski beliau tak terindera.
Inilah sebabnya, keyakinan pada yang gaib merupakan kunci hadirnya makna yang amat mendalam. Ketika insan meyakini ada pencatatan pahala dan dosa, ada perhitungan yang adil pada waktunya, diri ini pun bekerja dengan lepas dan ikhlas. Saat diri meyakini malaikat yang mencatat di kanan kiri tiada henti, takutlah pada tiap langkah terpeleset, bahkan kala tak seorang pun melihat.
Maka mari kita rangkai semuanya. Yakini adanya Allah yang menguasai segala. Yakini bahwa Ia telah siapkan panduan hidup yang disampaikan lewat rasulNya yang terpercaya. Yakini adanya malaikat yang menjaga dan mengatur segala rupa. Yakini bahwa segala hal kan berakhir dan pada kala itu setiap lelaku kan dipertanggunjawabkan. Yakini bahwa tak satu pun terjadi tanpa pengaturanNya.
Energi apakah yang kan hadir dari ini semua?
Ya. Berlipat-lipat tanpa cela. Lembur jadi bermakna, setara dengan senyum pada sesama. Lelah tak hadirkan susah, sebab yakin kan berbalas surga. Menyumbang banyak tak terasa, menyingkirkan paku demikian ringan.
Karena kegaiban, hidup jadi penuh keajaiban.