Tabiat pikiran itu cair. Saking cairnya, maka bagaimana kita diajak berinteraksi setiap hari, begitu pulalah pikiran kita kan terbentuk. Bukankah demikian sering kita temui anak yang memiliki pola pikir mirip dengan orang tuanya? Atau anggota tim yang menggunakan pendekatan serupa dengan atasannya?
Contoh kecairan lain, mari kita bayangkan kejadian berikut ini.
Masuk kantor setelah masa liburan yang cukup lama. Kondisi pikiran dan perasaan biasa saja. Tetiba, seorang kawan berucap, “Duh males banget ya masuk kalau habis libur lama begini. Santai-santai dulu lah ya hari ini.”
Tanpa sengaja kalimat itu terdengar, masuk ke dalam pikiran. Dan tak jarang kita amini, “Iya juga ya.” Kemudian kita pun terkondisikan malas dan santai.
Familiar?
Itu baru sebuah kalimat. Belum obrolan. Belum lagi bacaan. Belum lagi berita.
Maka tiap hari kita sebenarnya disodori jutaan informasi pembentuk pikiran yang tak sempat kita saring satu per satu. Ini bisa berdampak baik atau buruk. Baik, jika kita lebih banyak berada di sekeliling orang-orang yang sibuk dengan menyebarkan hal-hal baik. Buruk jika sebaliknya. Di tengah zaman yang informasi tak lagi berbatas ini, sungguh tak mudah tuk selalu berada di lingkungan yang konsisten menyebarkan informasi baik. Jika pun kita tak mencari, kita disediakan informasi buruk di hadapan.
Inilah sebabnya, meski diri ini insan merdeka, tak sedang dalam penjajahan fisik, kita tak benar-benar merdeka dalam pikiran. Kita mesti ambil kembali kendali pikiran, jika tak ingin jadi korban keadaan. Jangan biarkan pikiran dibentuk situasi, tanpa kita saring mana-mana yang berdampak baik bagi masa depan diri.
Bagaimana kah caranya?
Menurut pengalamanku yang terbatas ini, salah satu cara yang efektif ialah mengisi pikiran dengan bacaan yang baik. Sebab buku yang mengandung bacaan yang baik, ditulis oleh sang guru dengan ketekunan yang tak main-main. Jadilah ilmu yang tertuang dalam buku ialah saripati yang benar-benar esensi, diatur dengan sistematis tuk membentuk bangunan pikiran yang utuh. Berbeda dengan tontonan yang relatif membuat pikiran pasif, membaca hanya bisa terjadi ketika kita aktif. Aktif memahami kata dan kalimat, aktif mencerna lapisan-lapisan makna. Dan dalam tiap proses ini pikiran kita membentuk bangunan pemikiran yang sepenuhnya ada dalam kendali.
Maka membaca ialah usaha untuk memerdekakan pikiran. Kebiasaan membaca adalah sesejatinya perwujudan kemerdakaan berpikir. Kita memahami fenomena berdasarkan kerangka. Dan dengan bacaan yang baik, pikiran kita memiliki kerangka yang kokoh, hingga tak terombang-ambing dalam makna yang dipaksakan oleh liarnya informasi.
Wujud kemerdekaan lain, kita membaca apa yang kita minati. Sungguh berbeda dengan tontonan yang bisa saja hadir di depan mata tanpa kita inginkan, membaca adalah usaha sadar untuk mendidik diri sesuai kebutuhan dan keinginan. Kitalah yang menyusun kurikulum pendidikan kita. Kita merdeka mendesain masa depan yang kita inginkan melalui bacaan yang kita miliki. Dan semakin kita dewasa, kemerdekaan ini sebenarnya makin terasa. Jika dulu semasa sekolah buku bacaan kita diatur oleh kurikulum sekolah, kini kita bebas membaca sebanyak apapun, mulai dari manapun, belajar dari buku apapun. Aku pernah mendapati seorang direktur keuangan merangkap pemasaran dan penjualan, yang ternyata berlatar belakang pendidikan fisika instrumentasi. Wuih, sungguh kemerdekaan berpikir yang luar biasa, bukan?
Maka merugilah insan yang tak membentuk kebiasaan membaca. Ia berpotensi membiarkan pikirannya dibentuk oleh keadaan, lalu nasibnya ditentukan oleh lingkungan. Sementara Tuhan membuka sedemikian luas peluang atas potensinya, ia sia-siakan dengan merelakan diri terbelenggu oleh apa yang diaturkan situasi kepadanya.
Merdekakanlah pikiranmu, wahai diri, dengan membaca. Pilihlah bacaan yang memandumu pada masa depan yang baik dan penuh keselamatan. Isi pikiranmu dengan bacaan yang mendukungmu menjalani hidup kokoh dalam kebenaran. Jangan sisakan ruang dalam pikiranmu bagi informasi yang tak dalam kendali. Saringlah ia dengan ilmu dari bacaan para guru yang keberhasilannya telah terbukti.
Sungguh ada banyak hikmah di balik perintah pertama yang diturunkan pada umat ini, “Bacalah.” Sebab bacaanlah, yang telah terbukti berabad-abad, berhasil memerdekakan jiwa-jiwa yang tubuhnya tertindas hingga bangkit memperjuangkan kemenangan.