Psikolog 5.0

Psikolog generasi 5? Emang generasi 1 sampai 4-nya apa? 

Hehe.. nanti kita pikirkan.

Tapi aku ingin mengawali tulisan ini dengan sekutipan pembelajaran yang ku dapat saat membaca karya Abraham Maslow yang bertajuk, Maslow on Management. Bahwa beliau sudah give up dengan psikoterapi. Dan menemukan bahwa bisa jadi, dunia kerja, dunia berkarya, adalah jalan yang menjanjikan bagi pertumbuhan diri, bagi hadirnya aktualisasi diri.

Ee.. mas-mas.. boleh pakai bahasa yang membumi sedikit? 

Oh, ok. Kita mundur sedikit lagi ya.

Jadi, kalau direnung-renungkan, psikologi ini bisa jadi adalah ilmu yang lahir sebagai respon atas pertanyaan mendasar, “What is a good life?”. Pertanyaan yang sejatinya sudah diajukan oleh para filosof ribuan tahun lalu ini telah melahirkan begitu banyak karya yang mungkin berujung pada lahirnya psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu. Ya, karena semua sains berawal dari filsafat, maka semua sains akan menemukan akarnya pada filsafat pula.

Menariknya, jika pertanyaan ini diajukan pada orang yang pernh belajar psikologi di kampus, maka jawabannya tidak akan pernah standar. Tergantung mazhab yang diyakini—atau lebih tepatnya—dikuasai—atau lebih presisinya lagi—digemari. Ya, kan memang ilmu itu cocok-cocokan. Pemilihan pisau analisis tak jauh beda dengan pemilihan baju yang kita pakai keluar rumah. Secara saintifik, semua baju yang kita miliki tentu sudah berada dalam ukuran yang pas dan kebutuhan yang sesuai. Tapi mana yang kita pilih pada hari itu bergantung pada selera.

Maka ia yang menggemari psikoanalisa ala Freud dan kawan-kawan, akan melihat berbagai kejadian sebagai kemungkinan adanya fiksasi pada fase oral, regresi, dan beragam defense mechanism lain. Sementara ia yang menekuni behaviorisme akan menetapkan perilaku tetangga sebagai bentuk pembelajaran yang diperkuat. Bahwa kebebasan selalu ada dalam kerangka pembelajaran. Melalui reward and punishment, perilaku bisa dibentuk dan dibentuk ulang. Sedangkan mereka yang merasa lebih cocok dengan selera humanistik akan mengatakan bahwa manusia mengalami fase pemenuhan kebutuhan dasar dari fisiologis hingga aktualisasi diri dan transendental. Belum beranjaknya seseorang dari satu fase ke fase lain bermakna belum terpenuhinya kebutuhan secara maknawi bagi dirinya—setidaknya demikian yang diungkap Maslow namun tak sepopuler teori hirarki kebutuhannya.

Jadi bagaimana kah hidup yang baik itu? Jawabannya: tergantung. Jawaban yang tak pernah memuaskan orang awam. Padahal, orang awam sebenarnya ialah konsumen yang paling berhak mendapatkan manfaat dari ilmu psikologi.

Eh, masak?

Iya, dong. Selain ilmu agama, bisa jadi psikologi ialah satu-satunya—atau biar lebih ilmiah, salah satu deh—yang bisa dipakai dari sejak manusia bangun hingga tidur lagi. Matematika tidak. Fisika tidak. Biologi tidak. Ilmu tanah, apalagi. Ekonomi pun demikian. Tapi psikologi, merembes dalam kehidupan manusia mulai dari bagaimana ia membuka matanya pada pagi hari, menemukan motivasi untuk bekerja, mengurus anak, mengelola keluarga, memimpin tim, melayani pelanggan, memotivasi penjualan, mengatasi insomnia akibat target belum tercapai, dst. Maka masyarakat awam, sungguh amat berhak bagi jawaban yang jelas dari pertanyaan tadi: bagaimana sih hidup yang baik itu?

Sayangnya, belum banyak—setidaknya dalam sempitnya pergaulan dan pengamatanku—psikolog yang menjadikan dirinya relevan dengan masyarakat. Ya, psikolog harusnya ada di banyak layar TV yang ditonton masyarakat, di koran-koran yang dibaca tiap pagi, di novel-novel yang menghibur hati, di lagu dan film-film bioskop, di Instagram yang di-scroll tiap hari, di akun-akun Youtube yang jadi referensi. Ukuran kinerja psikolog, mungkin bukan lagi soal laporan HPP yang ia hasilkan, atau berapa SKP yang ia kumpulkan demi STR, tapi berapa banyak masyarakat yang ia layani dan hidupnya menjadi lebih baik.

Pemikiran ini muncul semalam, ketika tanpa sengaja—menurut pandangan manusia, tentunya—aku bertemu dengan Analisa Widyaningrum. Kenal? Wah, kalau iya maka kemungkinan kalian milenial beneran. Sebab milenial nanggung seperti diriku ini baru ngeh hari ini. Hehe.. sori ya, Mbak Ana. Gara-gara foto yang dikirimkan seorang alumni dari sesi yang difasilitasi olehnya, aku pun browsing dan menemukan bahwa akun IG nya sudah di-follow 130 ribu lebih dan akunYoutube-nya sudah di subscribe 20 ribu lebih.

Wow! Ini psikolog, bukan artis—atau ustadz juga bisa sih di zaman sekarang. Hehe..

Nah, dalam perjalanan ke Jogja untuk memfasilitasi kelas NLP Coaching Certification tadi malam, aku kebagian duduk di tengah. Saat mau meletakkan barang, aku lihat seseorang yang wajahnya kok seperti tak asing. Ya, rupanya dia adalah orang yang ku browse pagi ini. Singkat cerita, aku membuka pembicaraan dan aku mendengar banyak kisah luar biasa darinya. Bagaimana ia tetap praktik sebagai psikolog klinis, namun secara relevan melayani masyarakat melalui berbagai media sosial. Menjadi trainer di bidang personal development sih bukan sesuatu yang baru bagi kalangan psikologi. Tapi sekaligus juga menjadi brand ambassador produk hijab atau make up, nah, ini unik. Apalagi ia pun berusaha untuk tetap memasukkan unsur edukasi psikologis dalam tiap aktivitasnya.

Menengok ke belakang, kita mungkin mengenal beberapa nama seperti Kak Seto (yang sukses membekukan namanya sebagai kakak terlepas dari senioritasnya), Prof. Sarlito, Bu Eileen Rahman, dll yang pada masanya kerap menghiasi TV pada masanya. Sekarang, ya mungkin Youtube-lah. Tapi poinnya, mereka berusaha menjadi relevan bagi masyarakat. Melayani masyarakat dengan ilmunya.

Tapi jumlah orang psikologi yang seperti mereka belum cukup banyak. Bahkan masih teramat sedikit. Aku bukan psikolog, hanya lulusan psikologi. Dan aku masih termasuk yang banyak itu—bukan yang sedikit. Apakah ini karena nyinyiran zaman lawas bahwa orang psikologi itu rawat jalan, sehingga masih banyak yang belum selesai dengan dirinya? Hehe.. bisa jadi. Tapi siapa yang akan pernah selesai dengan dirinya? Justru uniknya ilmu psikologi ialah kita bisa memeriksa diri kita sendiri. Menengok bagaimana diri menjadi bagian dari masyarakat dan menghadirkan manfaat. Melepaskan potensi terpendam yang Allah simpan sebab ia terlalu berharga untuk diletakkan sembarangan.

Psikolog, sudah sejak lama hadir di rumah sakit. Dan kini mulai hadir di Puskesmas. Namun jumlah orang yang mereka layani masih terlalu sedikit. Sebab yang hadir di sana baru lah yang mengalami permasalahan psikologis, dan kebanyakan direkomendasikan oleh dokter. Sementara mereka yang kecewa dengan pasangan, pekerjaan, karir, bos, tidak mencapai target, bertahun-tahun tidak promosi karena tak paham juga potensi diri, galau dengan pilihan karir, jauuuuuuh lebih banyak dan masih belum terlayani. Sungguh aku melihat sendiri bagaimana pimpinan perusahaan sejatinya perlu teman bicara yang profesional dan menginspirasi, namun tentulah mereka tak sudi datang ke klinik psikologi. Sungguh anak kelas 10 yang harus menentukan pilihan jurusan itu jauh dari siap, sebab hanya segelintir SMP yang memiliki psikolog pendidikan yang kompeten untuk memfasilitasi penelusuran minat dan potensi sejak dini.

Dalam sejarah, psikolog memang bermula dari mengatasi pasien-pasien klinis. Ini mungkin psikolog generasi 1. Lalu seiring berkembangnya ranah bahasan ke dunia pendidikan dan organisasi, ia menjadi bagian penting bagi sekolah dan perusahaan. Ini bisa jadi psikolog generasi 2 dan 3. Dari ranah rekruitmen dan seleksi, ia masuk ke ranah bisnis menjadi strategic partner. Lalu lahirlah psikolog yang berkarya di ranah media sosial. Ini generasi 4. Nah, saatnya menjadi psikolog generasi 5. Psikolog yang berada di masyarakat, mendampingi masyarakat bertumbuh mencapai potensi terbaiknya. Psikolog yang dengan bantuan teknologi advancing humanity. Psikolog yang bicara melampaui ‘dampak gawai bagi anak’ tapi ‘bagaimana gawai mempererat hubungan keluarga dan melejitkan potensi anggotanya’.

Rada maksa ya masukin generasinya? Ga papa lah.

Ujungnya ke mana nih diskusi ini?

Entahlah. Kita lanjut lagi nanti ya. Hehe..

Oia, alhamdulillah. Kelas NLP Coach Certification batch 8 perdana di Jogja ini perdana juga diikuti oleh para psikolog. Sebagian besar psikolog Puskesmas pula. Moga semuanya istiqamah belajar hingga tuntas dan bersama-sama menekuni misi advancing humanity.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *