Beberapa tahun lalu, aku pernah memfasilitasi sebuah kelas pelatihan. Pengalaman yang tak terlupakan, karena kala itu aku harus menggunakan bahasa Inggris, dikarenakan sebagian peserta yang ekspatriat. Mudah diduga, kelas berjalan dengan tidak optimal, karena level kelucuan berkurang lebih dari 50%. Hehe..
Tapi bukan itu pengalaman yang paling berkesan. Pengalaman yang membuatku sungguh belajar amat banyak. Jadi begini ceritanya.
Pelatihan itu diadakan di sebuah sekolah berlabel internasional. Gedung mewah, tak usah ditanya fasilitasnya. Guru-guru pun sebagian merupakan ekspatriat dari berbagai negara. Tak sekali dua kali aku berinteraksi dengan sekolah ini. Dari mulai guru hingga pimpinannya. Ada kesan yang kurang mengenakkan dalam diriku. Kurasakan keangkuhan dalam hampir setiap pertemuan dengan mereka. Ku periksa beberapa kali persepsiku. Ku telisik kekurangan-kekuranganku yang memang nyata adanya. Namun ku sampai pada kesimpulan jua. Keangkuhan itu terlalu kasat mata.
Baru saja hari ini, ku dapati sebuah cerita. Dari sebuah sekolah dengan label yang serupa. Kelas berjalan tak sebagaimana mestinya. Dari guru hingga pemilik, memancarkan aura keangkuhan yang mirip belaka.
Lalu aku pun merenung dalam-dalam. Pertanyaan itu bergelayut: apa makna pendidikan jika bukan membangun adab? Apa arti mendidik jika tak melahirkan jiwa-jiwa pembelajar nan rendah hati? Jiwa-jiwa yang dengan begitu mudah ku temui di sekolah-sekolah tanpa label internasional, di sekolah-sekolah yang tak membawa-bawa kurikulum berbahasa asing.
Bukan. Aku bukan anti asing. Pernah kok ku temui sekolah dengan label internasional namun penuh dengan keramahan. Tapi yang kita perlu bawa dari luar ke dalam seharusnya ialah bekal-bekal kemajuan seperti pola pikir ilmiah, kepercayaan diri, kolaborasi, dll. Kita perlu memilah mana yang kan membantu kita mencapai kemajuan, dan mana yang justru mengantar kita pada kemunduran.
Tak habis ku berpikir: apa yang dicari dari sekolah berlabel internasional, merekruit guru asing yang tak paham bagaimana berperilaku di negeri ini? Anak-anak seperti apa yang diharapkan kan terbentuk jika keteladanan yang ditunjukkan ialah keangkuhan?
Jawabannya mungkin sederhana saja. Bahwa sekolah serupa ini didirikan dengan asumsi bahwa akan ada banyak orang yang membeli bungkus daripada isi. Saat mendesain sekolah berstandar internasional, mungkin yang terbayang pada mulanya ialah sekolah-sekolah di negara maju seperti Amerika atau Inggris. Tapi saat dieksekusi, berbagai kondisi barangkali membuat sekolah pun mencari jalan pintas. Alih-alih mendatangkan guru dari negara-negara itu, yang tentunya berbiaya amat besar, didatangkanlah guru-guru yang memiliki cita rasa dianggap mirip. Salah satunya dari negeri tetangga. Yang menarik, seorang kawan yang pernah mengajar di sekolah serupa ini pernah geleng-geleng kepala. Sebab sekolah tempatnya mengajar dulu itu merekruit guru dengan cara menyebarkan selebaran lowongan pekerjaan di beberapa mal, kepada orang asing yang mereka temui. Catat: orang asing yang mereka temui. Bukan, bukan guru yang mereka temui. Orang asing yang mereka temui, ditawari menjadi guru.
Jika kau tak pusing membaca kisah ini, maka kau sungguh hebat. Sebab aku sulit menjaga keseimbangan saat mendengarnya. Hehe..
Jadi tak mengherankan, jika ada sekolah yang kelakuan guru dan pimpinannya seperti yang ku temui di atas. Sebab mereka sejatinya sedang membuka bisnis semata, buka sedang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sederhana saja. Tujuan pendidikan ialah mencetak generasi yang sanggup menjalankan perannya dalam kehidupan. Desain pendidikan kita memang masih jauh dari yang diharapkan, tapi filosofi pendidikan yang diajarkan para pelopor sungguh sudah amat layak untuk direnungkan ulang, dan diejawantahkan dengan lebih sungguh-sungguh.
Yang kita perlukan ialah sistem pendidikan yang mampu melahirkan para pembelajar. Ya, umur kevalidan sains tak pernah lama. Akan selalu ada teori baru yang meruntuhkan teori lama. Maka mengajarkan sains semata, adalah kesalahan besar dalam pendidikan. Yang perlu diajarkan, dilatihkan, ialah kegandrungan pada ilmu. Bahwa ilmu ada dalam kehidupan, dan tugas pembelajar lah tuk menggalinya. Mendidik generasi seperti ini berarti menyiapkan mereka untuk menjalani kehidupan yang akan datang, bukan kehidupan masa lalu.
Kegandrungan kepada ilmu, bermula dari adab terhadap ilmu itu sendiri. Sebuah kondisi pikiran dan perasaan untuk selalu berada dalam tabiat rendah hati. Sebab ilmu laksana air, hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Oleh karenanya, beradab pada siapapun yang menjadi guru ialah keniscayaan, kebutuhan. Bukan karena guru itu sendiri perlu penghormatan. Tidak, sama sekali tidak. Guru hanyalah manusia biasa. Punya lebih dan kurang. Maka adab kepada guru bukan sebab beliau yang memerlukan, melainkan kita lah, para pembelajar ini, yang membutuhkan. Tanpa adab kerendahan hati, kita kan sulit menerima kucuran ilmu.
Sisi lain, guru nan diadabi, nan mampu membuat murid rendah hati, ialah teladan pula terlebih dulu. Guru yang sanggup mengajarkan esensi pembelajar, sudah harus mencapai tahap kesadaran bahwa dirinya pun hanyalah seorang pembelajar pula. Ia tak lebih tahu, hanya sedikit lebih dulu tahu. Ia tahu anak-anaknya kan belajar melampauinya, karenanya punya antusiasme yang sama dengan apapun yang mereka temukan. Jika sebagai murid perlu berendah hati, maka guru jelas mesti jauh lebih rendah hati daripada ini.
Jika ku tengok-tengok intisari pengalaman beberapa tahun belakangan menemani beberapa sekolah membangun budaya baru, maka apapun citarasa budaya yang ingin dibangun, semuanya bermuara pada 1 budaya yang amat mendasar. Budaya sekolah berarti budaya guru. Dan budaya guru yang paling mendasar ialah budaya belajar. Guru, sebagai pembelajar.