Beberapa hari ini aku mendampingi seorang fasilitator senior di sebuah kelas. Materi yang kami ajarkan adalah materi yang telah kuajarkan selama setidaknya 7 tahun terakhir. Hampir setiap detil aku hafal, dan sanggup mengaitkan dengan berbagai kondisi yang sering ditanyakan peserta.
Menariknya, selama beberapa hari ini bersama beliau, aku melihat wajah materi ini amat berbeda. Ada cara yang beliau gunakan, yang sekilas aku tahu, tapi tak pernah terpikirkan. Ada racikan yang beresensi sama, namun kemasan sama sekali berbeda. Dibilang teratur, tidak terlalu seperti di modul standar. Tapi dibilang acak juga tak layak.
Bukan, ini bukan ngasal. Tapi merupakan secuplik wajah bernama keahlian. Mastery. Sebuah titik ketika apa yang kita kuasai demikian terintegrasi, sehingga menjadi matriks pemahaman yang saling terkoneksi. Bisa dimulai dari mana pun, dan di akhiri di mana pun. Semuanya tetap utuh.
Beliau menggunakan slide dan video yang sama denganku. Tapi masakan beliau jelas layak dibeli dengan harga tinggi dan tak ditawar.
Lalu aku pun merenung dalam. Inilah barangkali jalan kedalaman. Jalan penguasaan. Jalan keahlian. Di era ketika ilmu demikian mudah dipelajari lewat Youtube, aku kerap mengira ada akhir dari sebuah ilmu. Ada titik ketika sebuah ilmu tak perlu didalami lagi, sebab ia telah mencapai ujungnya.
Tapi rupanya tidak. Ujung ilmu hanya tampak ketika kita meniti jalan kepraktisan. Bukan jalan keahlian. Adalah Josh Kauffman yang mengatakan bahwa untuk menguasai sebuah keterampilan kita memerlukan setidaknya 20 jam latihan intens. Ringan? Tentu. Tapi Anders Ericsson menemukan bahwa jika kita ingin menaikkan level keterampilan menjadi keahlian, maka waktu yang dibutuhkan meningkat berlipat-lipat menjadi setidaknya 10.000 jam latihan. Dan bukan pula sembarang latihan. Melainkan latihan yang dinaikkan terus dosisnya, disertai masukan dari pelatih.
Duhai, betapa ini jelas nama lain dari jalan pengabdian. Ya. Menjalani 10.000 jam jelas amat sulit jika kita melulu bicara hitung-hitungan angka pendapatan. Dua jam latihan per hari di hari kerja baru akan selesai di kisaran 19 tahun, nyata-nyata memerlukan kesabaran, ketekunan, keikhlasan, dan kerendahan hati. Mustahil seseorang belajar terus 19 tahun jika tak punya kegembiraan dan kegairahan terhadap ilmu itu sendiri.
Berkaca pada diriku, sungguh masih jauh dari menjadi ahli, bahkan di 1 ilmu. Tapi setidaknya kusadari satu hal, bahwa ilmu sebenarnya berlapis-lapis. Berdimensi-dimensi. Sebuah ilmu yang dibingkai dengan cara baru, lahir makna baru. Sebuah ilmu nan dibedah dengan pisau berbeda, lahir pula pemahaman baru. Nasi goreng dan mie goreng, punya bahan mirip dengan magelangan. Tapi magelangan tak bisa dibilang nasi goreng dengan mie, atau mie goreng dengan nasi.
Ilmu adalah cahaya. Dan cahaya akan mengisi ruang-ruang yang tak terduga. Yang kita butuhkan adalah selalu menyediakan ruang, lalu membuka penutupnya. Maka cahaya akan selalu menemukan tempatnya. Ruang itu ialah kesediaan untuk menyadari permasalahan, atau keberanian untuk memasang tujuan. Penutup yang perlu dibuka ialah keyakinan bahwa kita telah mengetahui segalanya.