Masih perlukah artikel tambahan yang membahas tentang kerja jarak jauh?
Ya, sepertinya demikian. Hehe.. Setidaknya yang satu ini.
Dan ada alasan untuk itu. Yaitu, sampai minggu ini, masih ada keluhan dari rekan-rekan pemimpin tim tentang bagaimana mereka meragukan produktivitas tim mereka. Sebagian lagi mengungkapkan protes yang muncul dari beberapa anggota timnya, justru karena merasa overproduktif, kerja melulu dan kurang istirahat, karena pembagian tugas seolah tak merata.
Ya, minggu keempat work from home bagi sebagian orang memang waktu yang cukup singkat untuk menstabilkan pola kerja yang baru di tengah perubahan yang demikian cepat. Maka penyesuaian terus-menerus, belajar sambil bekerja, adalah keniscayaan. Apalagi, perubahan kondisi yang terjadi di era ini berdampak cukup kompleks pada psikologi tiap orang, pemimpin dan anggota tim. Ketidakpastian akan kapan semuanya akan berakhir, di tengah berita sebagian perusahaan mulai merumahkan karyawan, melahirkan hati yang berdebar halus. Sehingga meskipun wajah tampak tersenyum, kita memahami bahwa gejolak hati itu ada.
Sementara itu, ada beberapa tantangan yang muncul saat kerja saling berjauhan. Misalnya: (1) Tidak ada kontrol langsung pada pola kerja tim, mereka yang harus mengontrol dirinya sendiri; (2) Ketergantungan pada sinyal internet, yang saat hujan tiba-tiba naik turun; (3) Tidak ada komunikasi tatap muka, padahal nada bicara dan ekspresi penting untuk saling memahami; (4) Tidak ada interaksi kecil sehari-hari, yang biasanya jadi jalan membangun keakraban, sehingga beberapa orang kadang seperti terasa jauh (feel out of the loop). Ini semua bukan sesuatu yang baru. Banyak organisasi sejak lama memiliki pola kerja jarak jauh. Hanya saja, kondisi itu tiba-tiba menjadi massif di tengah pandemi ini.
Nah, menariknya, Stephen R. Covey selalu mengatakan bahwa, di balik perubahan, selalu ada prinsip-prinsip, hukum-hukum alam yang bekerja. Prinsip ini tidak pernah berubah, meski cara mempraktikkannya berkembang seiring waktu. Dulu, untuk menghubungi seseorang kita perlu menelepon. Sekarang, kadang menelepon langsung bisa mengganggu, baiknya kita kirim pesan teks dahulu. Caranya berbeda, tapi prinsipnya sama. Apa itu? Memahami mode komunikasi yang nyaman bagi setiap orang. Dulu, menghargai seseorang dengan mengirimkan surat. Kini, kita perlu terhubung di media sosial dan mengirimkan komen-komen seru penuh canda. Sekali lagi, caranya berbeda, prinsipnya sama: hargai tiap orang sesuai dengan cara yang dianggapnya sebagai penghargaan.
Nah, apa saja prinsip-prinsip delegasi dan monitor itu?
Sebelum kita jawab, mari kita tinjau ulang dulu, apa sebenarnya tujuan dari proses pendelegasn adan pemantauan itu.
Ya, proses delegasi dan monitor itu sejatinya diperlukan untuk memastikan setiap tugas selesai tuntas sesuai tujuan. Sayangnya, di kondisi perubahan, tugas tak benar-benar standar, ia berkembang dalam hitungan jam, prioritas yang telah kita susun di awal tahun tiba-tiba tidak relevan. Padahal, setidaknya, kita, manusia ini, perlu 3 hal untuk tergerak melakukan sesuatu secara mandiri. Pertama, kita perlu paham apa yang harus kita lakukan. Kedua, kita perlu paham bagaimana melakukan hal itu. Ketiga, nah ini yang krusial, kita perlu memiliki alasan yang cukup kuat untuk membuat kita bergerak.
Why, What, dan How. Dalam bukunya yang populer, Start with Why, Simon Sinek mengungkapkan bahwa kebanyakan pemimpin, saat mendelegasi, fokus pada target apa yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya. Padahal yang menggerakkan seseorang adalah alasan yang ia miliki. Sebagai contoh, anggaplah saya tahu ada sebuah tempat bernama mal Plaza Senayan. Saya juga tahu bagaimana untuk bisa sampai ke sana. Apakah pasti saat ini juga saya akan ke sana?
Ternyata tidak. Lalu apa yang membuat saya berangkat ke sana?
Ya, alasan. Saya hanya akan bergerak ke sana ketika saja sudah mendapatkan alasan. Dan alasan yang saya miliki ini, rupanya mempengaruhi bagaimana saya akan menjalankan tugas. Jika, misalnya, alasan saya ke sana adalah sekedar untuk mencari barang, maka saya akan berangkat dengan santai. Namun jika saya akan menghadiri sebuah perayaan ulang tahun saudara, tentunya saya akan memperhitungkan betul cara untuk sampai di sana tepat waktu.
Karena itulah, penting bagi pemimpin untuk memastikan anggota tim mendapatkan 3 aspek ini saat mendelegasikan tugas. Mari kita bahas lebih detil dalam beberapa tips berikut ini.
Why:
- Pastikan tim memahami tingkat kepentingan untuk tiap tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Sebagai pemimpin, kita mungkin memahami mengapa sebuah tugas penting untuk dikerjakan. Tapi anggota tim kita yang tidak ikut dalam rapat manajemen, belum tentu memahami. Maka, bantu mereka untuk memahami bagaimana tugas yang tiba-tiba muncul karena situasi krisis ini penting untuk dikerjakan.
- Pastikan tim memahami dampak tiap pekerjaan mereka terhadap pekerjaan anggota tim yang lain. Kadang, anggota tim sudah memahami tingkat kepentingan pekerjaan bagi organisasi. Namun belum tentu pemahaman itu akan segera memotivasi mereka. Kadang, yang memotivasi mereka adalah bahwa pekerjaan mereka rupanya berdampak pula pada pekerjaan orang lain.
- Pastikan tim memahami prioritas Anda dan organisasi. Sementara itu, anggota tim sering paham dan sudah termotivasi. Namun sering belum selaras dengan prioritas yang kita dan organisasi buat. Maka pastikan tim kita memahami prioritas dari tiap tugas yang mereka emban.
- Bantu tim mendapatkan makna dari tugas mereka bagi diri mereka sendiri. Nah, ini aspek penting yang kerap dilupakan oleh pemimpin. Bahwa anggota tim tak hanya memiliki dirinya dalam pekerjaan, ia pun memiliki dirinya dalam kehidupan pribadi. Ia punya impian, punya tujuan. Ada kalanya, motivasi hadir ketika motivasi internal tersentuh dan berhasil dikaitkan dengan pekerjaan. “Kamu kan tahun depan mau nikah. Ayo kejar target kita.”
What:
- Delegasikan tugas sesuai dengan tingkat kemandirian tiap anggota tim (karakter dan kompetensi). Tidak semua tim memiliki tingkat kemandirian yang sama. Kenali mana yang bisa dilepas hanya dengan target, mana yang perlu didampingi sesekali, mana yang perlu di-coach lebih intens.
- Sepakati indikator keberhasilan tiap tugas. Pastikan tiap tugas disepakati ukuran keberhasilan yang jelas. Kerja berjauhan sangat rentan dengan mispersepsi. Maka diskusi dengan intens apa yang dianggap sebagai keberhasilan dan kapan harus diselesaikan.
How:
- Sepakati hal yang akan Anda monitor dan tidak. Terkait dengan nomor 5 dan 6, sepakati bagian mana yang akan Anda pantau dan tidak. Kemudian jaga itu.
- Sepakati bagaimana dan kapan Anda dan tim akan memonitor bersama. Adakah Anda akan memonitor melalui video call, telepon, email, WA grup? Seberapa sering itu akan dan perlu dilakukan.
- Monitor kondisi tim secara pribadi, bukan hanya pekerjaan. Nah, sekali lagi, anggota tim kita adalah manusia utuh yang memiliki kondisinya sendiri. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di kehidupan pribadinya. Karenanya, sesekali luangkan waktu untuk memantau keadaannya, perasaannya, pemikirannya, keluarganya, kesehatannya, dll. Ini akan jadi setoran kepercayaan yang amat berarti dalam jangka panjang.
- Berikan umpan balik secara efektif, jadikan momen monitor sebagai momen pengembangan. Berikan umpan balik secara presisi dengan contoh, terhadap setidaknya 2 hal: kemajuan yang sudah Anda lihat, dan ruang perbaikan yang bisa ia lanjutkan. Jadikan momen pemantauan bukan hanya sebagai momen menagih pekerjaan, tapi sebagai momen pembelajaran.