Coaching Insight #9: Meneliti Itu Perlu Revisi Identitas Diri

Sudah agak lama sejak terakhir kali ku tulis artikel Coaching Insight. Bukan karena sudah lama pula aku tak melakukan coaching, tapi karena belakangan aku lebih gemar mencatat pembelajaran secara lebih luas. Namun beberapa waktu yang lalu, sebuah sesi coaching bersama seorang sahabat memicu pikiran ini untuk mencatat kembali. Jadi, mari. 

Fokus yang menjadi tujuan adalah penelitian. Ya, penelitian yang sudah berjalan, dengan data yang tersedia, tinggal dianalisa. Kata ‘tinggal’ mungkin terlalu meremehkan. Karena tak pernah ada kata ‘tinggal’ atau ‘hanya’ dalam soal tulis-menulis. Apa yang sudah ada di kepala kadang tak mesti jua tertuangkan oleh jari-jemari pada keyboard. Apa tah lagi yang masih mengawang-awang di luar sana. 

Jadi apa yang menghalangi coachee ini untuk menulis? Jelas bukan kemampuan. Ia lebih dari mampu. Jelas pula bukan data yang kurang valid dan reliabel. 

Awalnya adalah perasaan mentok. Ya, mentok memang bukan sembarang perasaan. Dalam bahasa keren writer’s block, inilah penghambat banyak penulis. Tapi ia selalu hanya merupakan gejala. Dalam NLP, ia adalah state, yang perlu ditelusuri apa representasi internal yang jadi pemicunya. 

Cukup sering, pemicu itu adalah bayangan dan/atau suara. Uniknya dengan coachee ku ini, ia bukan suara cibiran sebagaimana mungkin diduga orang. Tapi justru suara-suara pujian. Sanjungan. Beberapa orang di sekelilingnya belakangan memberikan ungkapan pujian yang justru membebani pikirannya. Penelitiannya adalah penelitian awal. Ada keraguan soal kevalidan datanya. Sebuah keraguan yang sebenarnya sudah menemukan justifikasi—namanya juga penelitian awal. Namun lebih dalam ditelusuri, pujian itu justru menjadikannya berpikir, “It’s not fun anymore.” Ia menjalani studi karena senang belajar. Senang meneliti. Tapi pujian-pujian yang dianggapnya berlebihan ini justru menjadikan proses ini tak lagi menyenangkan. 

Nah, di situlah problemnya. Apa hubungan pujian dengan beban? Mengapa pujian jadi beban? Mengapa pujian tak dianggap saja sebagai, ya, pujian? Atau lebih mendasar lagi, mengapa pujian dilabeli pujian, dan bukan hanya kata-kata? 

Maka sesi pun berlanjut pada persoala identitas diri. Caranya memandang diri sendiri saat merasa terbebani. Terus menelusur pada misi yang ia ingin capai, niat yang ingin ia wujudkan sejak awal. 

Ia ingin belajar, ia adalah pembelajar. Penelitian adalah jalan pembelajaran. Peneliti adalah insan yang penuh dengan keingintahuan. Maka tiap hal yang ditemukan, ya, adalah penemuan. Tak benar, dan tak salah. Ia perlu dilihat sebagai fenomena belaka. Data. 

Saat pemahaman ini kembali diperoleh, dan dihayati, perlahan-lahan rasa ringan mulai hadir, lalu pikiran mulai mengalir. 

Beberapa waktu lalu ku tindak lanjuti, jemarinya telah mulai menulis lagi dengan lebih ringan. Belum selesai, tapi berjalan. Tak apa. Sebab sesiapa yang terus berjalan, kan sampai pula di tujuan. 

Simpulan singkat, meneliti itu soal identitas diri. Bagaimana kita melihat diri kan menentukan bagaimana kita bertanya, menelaah, mengambil data, menganalisa data. Namun era ketika dunia pendidikan begitu terbelenggu dengan standar memang kerap menjadikan identitas asli ini tertumpuk yang lain: Aku meneliti karena aku penerima beasiswa. Aku meneliti karena aku ingin naik pangkat. Aku meneliti agar cepat lulus. Aku meneliti yang gampang-gampang aja. 

Ada alasan kata research digunakan untuk mewakili kegiatan penelitian. Re-search, mencari ulang. Penelitian adalah proses peninjauan ulang hal-hal yang mungkin ada dalam keseharian, namun luput dari perhatian. Sebab bukan hanya fenomena itu sendiri yang perlu kita tinjau ulang. Identitas diri si peninjau ini pun kerap perlu direvisi. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *