Pandemi adalah Momentum Menjadi Ahli

“Salah satu ciri ahli adalah kemampuan mencermati dan menghargai.”

Pikiran ini hadir—mungkin lebih tepatnya kembali hadir—saat membaca buku Kecerdasan Semiotik karya Prof. Yasraf Amir Piliang dan Audifax. Lama judul itu ku pertimbangkan tuk dibeli, bukan karena bisa mengira manfaat isinya, tapi karena unik. Kecerdasan kok semiotik. Kecerdasan apa lagi itu? 

Semiotika sendiri adalah ilmu yang amat awam bagi telingaku. Baru sedikit tahu ya karena 6 bulanan ini bacaan utamaku adalah buku-buku Prof. Yasraf yang selalu mendedah berbagai persoalan menggunakan semiotika. Dalam buku Kecerdasan Semiotik itu, aku mendapat pemahaman baru tentang kecerdasan. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Bagaimana penanda bertindak sebagai wakil dari petanda. Tulisan logo Samsung adalah penanda dari petanda berbagai jenis peralatan elektronik. Begitu pula dengan logo apel tergigit adalah penanda khas dari beberapa produk perusahaan yang kini dipimpin oleh Tim Cook. Ya, sederhananya itu. Yang lebih kompleks lagi adalah, Samsung itu bisa jadi tak hanya mewakili peralatan elektronik, tapi juga gaya hidup ala Korea sebagai akibat Korean Wave. Samsung Galaxy tipe S bukan hanya mewakili sebuah benda dengan tipe itu, melainkan juga mewakili kerennya Lee Min-ho yang menggunakannya sepanjang serial drama terbarunya. Di sinilah semiotika jadi menarik, karena rupanya segala hal adalah simbol, tanda, yang kalau kita jeli akan menemukan kompleksitas relasi yang amat menarik. Setidaknya buatku yang baru tahu ini. 

Nah, tesis dalam buku Kecerdasan Semiotik adalah, bahwa yang disebut cerdas itu sebenarnya adalah kemampuan untuk mencermati tanda-tanda. Kecerdasan yang menurut Howard Gardner dkk kini sudah jamak itu sejatinya menjelaskan adanya berbagai kemampuan untuk mencermati kejamakan tanda. Ia yang cerdas logika matematika, misalnya, adalah ia yang terampil mengenali makna simbol-simbil matematis. Sementara ia yang cerdas interpersonal cermat sekali membedah hubungan antara simbol dalam bentuk perilaku manusia. Begitu juga ia yang cerdas dalam soal alam begitu jeli memahami simbol dalam bentuk gejala angin, tanah, udara, perilaku hewan, tumbuhan. Jadi sederhananya, segala kecerdasan itu sebenarnya adalah kecerdasan semiotik. Kecerdasan untuk membedah relasi hubungan penanda dan petanda, dalam berbagai bidangnya. 

Di titik ini ada kabar baik. Sebab simpulan ini memberikan cahaya bahwa kecerdasan itu memang bisa dilatih. Ia bukan semata bawaan lahir. Yang dilahirkan hanya potensinya. Tapi potensi itu aktual hanya ketika kita menanam bibitnya di tanah yang subur dan tekun merawatnya. Karena kecerdasan adalah kecerdasan memahami tanda, maka mengembangkan kecerdasan berarti adalah membangun satu demi satu keahlian mengurai tanda-tanda. Cerdas musik tak datang tiba-tiba, melainkan dari latihan bertahun-tahun menandai nada dan irama. 

Lalu apa hubungannya dengan pandemi?

Pandemi ini, bisa jadi adalah momentum kita untuk meningkatkan kecerdasan, meningkatkan keahlian. Karena mencermati sesuatu pasti memerlukan waktu. Dan sebagaimana pernah ku singgung dalam artikel yang lalu, bahwa pandemi telah menyediakan waktu untuk itu. Sebagian penduduk kota besar seperti Jakarta tiba-tiba memiliki waktu luang yang berasal dari perjalanan pulang pergi rumah-kantor. Waktu itu, sungguh mewah, karena bertahun-tahun ia hilang dalam kesia-siaan perjalanan. Memang, perjalanan sendiri sebenarnya mengandung kekayaan tanda. Namun karena sudah menjadi rutinitas, maka kesemua tanda itu lewat saja. Nah, waktu luang yang kini tersedia, adalah ruang yang demikian luas untuk kita mencermati berbagai tanda-tanda dan melakukan penelitian terhadapnya. 

Lihatlah ke sekiling rumah. Ada tanda apa yang kita minati? Letak berbagai barang? Jenis-jenis makanan? Tayangan di TV? Perilaku anggota keluarga. Atau diri kita sendiri? Kebiasan-kebiasaan yang baru saja kita kenali? 

Pilihlah yang kita minati, lalu cobalah untuk menatapnya melampaui apa yang kasat mata. Kebiasaan kita yang suka ngopi ini, misalnya, menandakan apa di baliknya? Kopi sebagai alat bantu untuk membelalakkan mata? Kopi susu manis sebagai pengganti cemilan? Kopi sebagai gaya hidup? 

Dan jangan berhenti di situ. Masuk lagi. Karena bisa jadi ia bukan penanda dari satu hal saja. Kopi sebagai gaya hidup, misalnya, gaya hidup yang mana? Kalau kira-kira kita tidak ngopi 1 hari saja, maka apa yang berbeda dari diri kita? Rasanya apa? Dan bersamaan dengan rasa ini, pikiran apa yang muncul? Pikiran ini menceritakan petanda apa? Gaya hidup apa yang tanpa sadar kita adopsi sehingga berpikir seperti ini? 

Amati lagi, semisal, anak kita yang tampak kurang menggemari pelajaran tertentu. Ambillah contoh: Fisika.  Ada apa di balik ketidaksukaan ini? Fisika itu baginya menandakan apa? Bagaimana ia bisa sampai mendapatkan kesimpulan seperti itu? Apa yang tidak ia ketahui—atau ia ketahui—tentang Fisika? 

Jika kebetulan Anda adalah pimpinan sebuah tim, cermati cara Anda memimpin. Terutama memimpin di masa pandemi ini, ketika tim bekerja dari jarak jauh. Cara memimpin ini, efektif atau tidak? Jika seumpama tidak, masuk lagi ke dalam, cara memimpin ini, lahir dari pemikiran apa? Dan pemikiran ini, adalah penanda dari paradigma kepemimpinan apa yang tanpa sadar kita adopsi selama ini? 

Menekuni berbagai penanda di sekitar kita seperti ini akan membukakan mata pikiran dan hati bahwa ada banyak hal yang mungkin perlu kita revisi. Sebab ia tak relevan lagi. Sebab ia terlalu dangkal. Sebab ia tak penting. Dan di tahapan pembelajaran ala-ala Taksonomi Bloom, inilah higher order thinking yang mengantarkan kita untuk merangkai keterampilan menjadi keahlian. 

Ya, perbedaan ahli dengan awam ada pada ketajaman dalam mencermati kejadian. Apa yang tampak biasa bagi orang awam kiranya memiliki rahasia bagi para ahli. Dan karena menemukan rahasia itu, mereka jadi sanggup menghargai apa-apa yang terlewatkan. Seorang ahli geologi bisa menghargai bebatuan, yang bagi orang awam meaningless. Seorang ahli manajemen bisa menghargai urutan kerja di sebuah kedai, yang bagi orang awam bahkan tak tampak standarnya. Seorang ahli perkembangan anak bisa mengapresiasi satu kata yang keluarg dari seorang anak, yang bagi orang awam hanya kicauan kanak-kanak belaka. 

Ah, di sinilah rupanya titik akhirnya. Mendalami penanda akan membukakan kita pada rahasia. Dan terbukanya rahasia tak lain kan berujung pada kekaguman. 

Jadi, sungguh merugi insan yang di masa pandemi ini tak menambah keahlian dengan melakukan pengamatan. Ia mengira semua hal biasa saja, padahal ada kesyukuran dan kebahagiaan yang kan ia dapatkan dari kesehariannya. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *