Bahasa adalah cara manusia menyampaikan pikiran dan perasaannya. Lebih jauh, bahasa adalah cara manusia mengekspresikan siapa dirinya. Apa yang ada dalam pikiran manusia tak terindera. Agar dapat dipahami bersama, manusia mewakilkannya pada bahasa. Yang disebut Teddi jelas tak hanya tubuhnya. Tapi keseluruhan dirinya, dan sejarahnya. Maka kata “Teddi” itu mewakili kesemua yang bisa ditangkap tentang siapa dia. Jadilah ketika salah sebut, sosok “Teddi” dipanggil “Budi”, ia takkan menengok. Pun kalau ia merasa disapa, ekspresinya akan aneh.
Perenungan ini muncul kala aku mendengar bahasan tentang bagaimana bahasa Arab dipilih menjadi bahasa yang mewakili wahyu Allah. Ada banyak hikmah. Salah satunya adalah bahasa ini lahir dari peradaban yang muncul di padang pasir nan tandus. Bentangan sejarah panjang mereka tak diisi dengan aktivitas penuh kesibukan seperti berdagang ala kota metropolitan. Mereka bisa melihat langit dengan jernih. Dan karena tak ada kemewahan yang lain, imajinasi mereka berkembang. Jadilah mereka sanggup melahirkan bahasa yang padat makna, penuh imajinasi.
Sebab itulah, aku kerap hanya tersenyum kalau ada yang berkomentar seperti, “Ah, dia cuma pintar ngomong aja. Ah, dia cuma pandai berkata-kata aja.” Jika memang dia yang dituju itu pintar ngomong bin pandai berkata-kata, maka itu tak pernah ‘cuma’. Karena memilih dan merangkai kata-kata dalam bahasa berarti menata pikiran dan perasaan. Para sastrawan yang karyanya mendunia itu menggunakan bahasa yang sama persis dengan orang lain sebangsanya. Tapi mengapa bahasa yang umum digunakan orang itu toh bisa menjadi sebuah karya yang menggerakkan jiwa. Hanya dengan membaca kata-kata yang mereka rangkai, air mata bisa menetes, tawa bisa terpicu, gairah bisa membara.
Betul, kata-kata bisa menipu. Dan kata-kata tipuan itu pun sebenarnya dibuat dengan baik, sehingga bisa menipu. Sekali lagi, ia tak sekedar kata-kata. Ia adalah serangkaian makna yang dijalin untuk dipindahkan pada pikiran orang lain dengan perhitungan akan dapat mempengaruhi mereka.
Jadi, mari kita cermati bahasa kita. Bagaimana kita menggunakan bahasa berarti bagaimana kita menata pikiran. Bagaimana kita menata bahasa berarti bagaimana kita menggerakkan orang lain. Jika orang tak tergerak, padahal kita ingin, cermati bagaimana ide pergerakan itu kita tata dalam bahasa. Mungkin ia memang tak cukup menyentuh.
Sebaliknya, cermati pula bagaimana bahasa kita mungkin menyakiti orang lain. Sebab bisa jadi ada niatan yang tak sengaja terterjemahkan dalam cara kita berbahasa. Ada rasa yang tak disadari dan menyelinap keluar lewat kata-kata kita.