Sumber Kekerasan

“Fitrah manusia tak tega menyakiti sesamanya. Maka ia yang menyakiti, mungkin sedang tak melihat sesamanya sebagai manusia.”

Hikmah ini ku dapat saat mengikuti kuliah Antropologi Kekerasan di STF Driyarkara. Dalam bahasan Lanskap Kekerasan, hadir bahasan bahwa ada tata imaji yang menjadi pemicu munculnya kekerasan. Imaji itu bisa berupa agama, suku, ras, dan lain sebagainya. Tapi ia hanyalah imajinasi. Ia tak benar-benar nyata. Dalam sebuah kerusuhan, misalnya, tak pernah jelas siapa dengan siapa yang sebenarnya bertikai, atas kasus yang mana. Tapi yang jelas, tiap orang bertikai dengan membawa imajinasinya masing-masing. 

Dari sinilah hikmah di atas muncul. Bahwa sifat asli manusia takkan sanggup menyakiti orang lain. Untuk bisa menyakiti, seseorang perlu mengimajinasikan lawannya sebagai yang lain, yang layak disakiti. Entah itu sebagai binatang, penyakit, pengganggu, atau hal lain yang bukan manusia. Bukan sesamanya. Bukan seperti dirinya. Tak ada kekerasan pada orang yang dianggap sebagai manusia biasa. Manusia yang sama. Bahkan, kekerasan kerap tercegah karena imajinasi pemicu awalnya berubah. Orang yang hendak disakiti tiba-tiba terlihat sebagai seorang ibu, seorang ayah, seorang anak. 

Aku teringat masa kerusuhan Mei 1998. Kala itu, banyak rumah meletakkan sajadah di pagar, sebagai simbol bahwa penghuni rumah beragama Islam. Dengan harapan, para perusuh akan melihatnya, dan menganggapnya sebagai manusia yang seagama, orang kita. Sebab kala itu, memang yang potensial diserang adalah orang-orang yang beretnis Tionghoa—mereka, bukan kita. 

Maka kala kita tak sengaja terpancing untuk menyakiti, mari kita introspeksi. Sedang berpegang pada imajinasi apakah kita? Orang yang kita sakiti itu, sedang kita lihat sebagai apa? 

Lalu periksalah imajinasi itu. Benarkah ia akurat? Apa buktinya? Jika tidak akurat, maka apa yang akurat? Ia sebenarnya, dan selayaknya, ku lihat sebagai apa? Sebagai siapa? 

Bukankah ia adalah sesama manusia jua? Bukankah jauh lebih banyak persamaan daripada perbedaannya? Bukankah di sebalik kekurangannya, ada banyak pula kelebihannya—yang keberadaannya ku abaikan?

Bukankah aku pun, tak bersedia dianggap bukan sebagai manusia? Bukankah aku pun, berharap dilihat kebaikannya, meski banyak pula kekurangannya? Bukankah aku pun, berharap dimaafkan, meski banyak kesalahannya? 

Ya, sumber kekerasan itu ada dalam imajinasi kita. Dalam diri kita. Maka kita lah yang perlu mengendalikannya. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *