“Berharganya waktu adalah sebab ia terus bergerak maju.”
Berharganya waktu adalah sebab ia terus bergerak maju. Ia tak menyisakan ruang untuk pengulangan. Apa-apa yang tampak berulang adalah ilusi semata. Berkat kecenderungan pikiran kita akan yang sama, maka setiap momen yang sejatinya berbeda seolah hadir dalam keterulangan.
Karena tak terulang itu ia berharga. Lantaran ia tak ada duanya. Detik yang kita lalui tadi, adalah satu-satunya detik. Dan apa yang kita kerjakan pada detik itu, adalah hal yang tak bisa kita ulangi lagi di detik kemudian. Ia tercatat dan memiliki nilai. Tak pernah kita tahu seberapa nilainya. Baik atau burukkah. Sebab yang memberi nilai itu adalah yang memiliki waktu dan kita yang berada di dalamnya.
Manusia hidup dalam waktu. Tiap lelakunya adalah tabungan. Ia bisa bertambah atau berkurang. Ia bisa melimpah atau hilang. Dan tabiat waktu selalu terbatas. Jika tak terbatas, adakah ia kan disebut waktu? Dalam bentangan waktu itu akan ada ujung. Di situlah ia berakhir, dan amalan kan dihitung.
Jadi sebenarnya kita ini berpotensi menjadikan tiap waktu sebagai jalan tumpukan amal. Sayangnya, tak semudah itu. Sebab di kiri kanan ada godaan. Godaan itu tak mesti berupa mengisi waktu dengan keburukan. Itu kerapkali terlihat nyata, dan karenanya masih agak lebih mudah kita hindari. Yang lebih sulit adalah mengisi waktu dengan yang tak bernilai. Sebab kita sibuk menengok kiri dan kanan, sehingg berlalulah waktu tanpa terisi. Di titik waktu itu amalan kita kosong. Sehingga di ujung sana nanti, tumpukan kita akan sedikit.
Maka kesadaran akan waktu mesti bersamaan dengan kesadaran akan tindakan. Bahwa dalam tiap ruang waktu itu mestilah kita isi dengan tindakan yang bernilai. Sebab kita pasti bertindak, tak mungkin tidak. Tak bertindak itu sendiri adalah tindakan. Pertanyaannya adalah: adakah tindakan itu jadi tumpukan amal? Adakah ia bernilai pada saat penilaian itu dilakukan?