“Kekurangan kita, sejatinya memang adalah ruang bagi yang lain tuk mengisinya.”
Salah satu ciri khas utama manusia adalah ia berkekurangan. Ia lahir tak lengkap. Maka sepanjang hidupnya ia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencari berbagai hal yang melengkapinya. Ia makan agar memiliki nutrisi yang cukup, sebab nutrisinya memang tak pernah cukup. Ia belajar agar memiliki kemampuan untuk mengolah alam, sebab alam ia butuhkan untuk bertahan hidup. Ia secara naluriah mencari kawan, hingga pasangan, sebab dalam dirinya ada bagian yang kosong, dan hanya bisa diisi oleh keberadaan yang lain.
Maka kekurangan kita, sejatinya memang adalah ruang bagi yang lain tuk mengisinya. Begitu pula kekurangan yang lain, adalah ruang bagi diri kita tuk melengkapinya.
Lalu mengapa, jika demikian, ada insan yang perlu merasa rendah diri dengan kekurangan yang dimilikinya? Padahal sekian banyak manusia yang dalam standar keumuman tak lengkap, namun toh memiliki kelebihan yang luar biasa. Kita menyaksikan akhir-akhir ini, seorang yang dianggap tunanetra, rupanya bersuara emas adanya, hingga tampil pada pertunjukan kelas dunia. Sejak lama pula kita dapati yang tak memiliki tangan lengkap seperti banyak manusia, namun mampu melukis indah yang tak sanggup disamai mereka yang ‘normal’.
Lantaran kekurangan itu niscaya, maka yang paling penting adalah kesadaran akan apa gunanya. Yang jelas, ia adalah ruang. Tinggal ruang apakah ia. Bisa jadi ia ruang perbaikan, peningkatan, pembelajaran. Bisa jadi pula ia ruang tuk mencari kawan, hingga pasangan. Bahkan bisa jadi ia ruang tuk melakukan lompatan. Bukankah kita tak bisa melompat jika tak ada jarak menganga di hadapan? Lompatan mensyaratkan kekosongan antara titik kita berada dan titik kita menuju.
Jangan benci kekuranganmu, wahai diri. Jangan pula cibir kekurangan orang lain. Kekurangan itu ciri khas kita. Di dalamnya tersedia kebebasan, dan karenanya pertanggungjawaban. Kita dikaruniai kebebasan. Dan kebebasan itu butuh ruang.
Kala kita gunakan anugerah kebebasan itu, itulah dia amal. Dan amal adalah rekam jejak tabungan yang menjadikan kita seseorang. Tanpa amal kita hanyalah potensial. Dan sesuatu yang masih potensial belum bisa dinilai. Dengan kata lain, ia belum eksis. Belum berada.
Ruang berkelindan dengan waktu. Dan waktu tak pernah menunggu. Ia menyediakan kekosongan untuk kita isi. Maka jangan buang-buang waktu dengan meratapi kekuranganmu, wahai diri. Cermati apa yang kan kau lakukan. Peningkatan atau perbaikan.
Kereeen!