“Muhammad berwajah masam dan berpaling. Karena seorang buta telah datang kepadanya. Tahukah kamu (Muhammad) barangkali ia ingin menyucikan dirinya dari dosa, atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat kepadanya? Kepada orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), kamu (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal kamu tidak tercela sekiranya pembesar Quraisy tidak beriman. Adapun kepada orang yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapatkan pengajaran, dan ia takut kepada Allah, kamu (Muhammad) mengabaikannya.” (QS Abasa: 1-10)
Surat ini tentu banyak di antara kita yang hafal. Ku yakin pula kita tahu kisah yang meliputi turunnya. Bahwa Nabi Muhammad saw pada suatu waktu sedang berdakwah kepada pembesar Quraisy. Tentu dengan maksud bahwa ketika mereka masuk Islam, akan luaslah pengaruhnya pada masyarakat. Lalu datanglah seorang buta, yang kita kenal bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Pahamlah kita, karena kebutaannya, ia tak melihat apa yang sedang Rasulullah saw lakukan. Apatah lagi ia begitu bersemangat karena bertemu Sang Nabi Allah. Melebihi semangat kita di era kini yang bertemu artis idola.
Jadilah kita bisa mengandaikan situasi sulit yang dihadapi Sang Nabi. Ia sedang berbicara pada ‘orang penting’. Dan pada saat yang sama diajak bicara oleh seorang yang tentu bukan bermaksud tak sopan. Pahamlah kita bahwa beliau sedikit saja menampakkan wajah agak terganggu. Mengapa cuma ‘agak’? Sebab beliau orang paling lembut yang kita kenal. Beliau yang jika dipanggil tak pernah sekedar menengokkan kepala, namun memutar seluruh badannya. Janganlah wajah masam itu semasam wajah kita. Wajah masam itu mungkin dalam ukuran kita hanya sekedar kebingungan karena situasi dilematis.
Lalu mengapa beliau ditegur jika demikian?
Ya karena standar akhlak beliau tak sama dengan kita. Beliau adalah contoh kebaikan par excellence. Surat ini, menurut ajaran yang ku dengar, adalah bukti kenabian dan kebenaran wahyu. Jika Qur’an itu buatan Nabi Muhammad sebagai manusia, tentu surat yang ‘memalukan’ ini tak disampaikan, disembunyikan saja. Namun Nabi Muhammad, dalam bangun hingga tidurnya adalah teladan. Dan dalam konteks surat ini, dalam wajah masamnya pun mengandung pembelajaran. Pembelajaran tentang prioritas kita kala menghadapi orang lain.
Belakangan ini, aku termenung kala sampai pada surat ini. Tersebab profesiku yang dekat dengan dunia ajar-mengajar. Dalam duniaku, justru adalah penting untuk memprioritaskan mereka yang punya kuasa, yang punya wewenang, yang memiliki kendali keuangan, sebab pembelajaran telah menjadi bisnis. Maka pada mereka yang berduit jelas akan ku pasang apa yang kini disebut sebagai senyum dan tawa karir. Meskipun aku pun sejatinya bisa membaca bahwa mereka tak sungguh-sungguh dalam belajar. Tak benar-benar ingin memperbaiki diri. Sementara pada ia yang tak punya uang, tak bisa membayar, ku berikan ala kadarnya. Kuterima dengan sekedar waktu yang ku punya. Kuberikan sekedar apa yang tersisa.
Duh, betapa surat ini menampar-namparku. Bahwa pada diri yang berjibaku dengan ilmu, selayaknya lah jangan begitu. Murid tak selayaknya dinilai dari uang atau kekuasaan yang ia punya. Melainkan dikenali dari kesungguhan niatnya. Mereka yang tampak bisa melihat, belum tentu benar-benar mampu melihat nilai dari sebuah ilmu. Sementara mereka yang ‘buta’ mata lahirnya, bisa jadi amat terbuka mata batinnya. Keahlian seorang guru, pertama-tama adalah mengenali kesungguhan pada muridnya. Sebab yang ia akan turunkan adalah cahaya. Dan cahaya hanya bernilai pada mereka yang telah berkenan membuka pintu dan jendela.
Perenungan lain, sungguh pada surat ini terkandung ajaran untuk mengutamakan kesabaran dan keramahan. Wajah masam adalah sesuatu yang wajar kala hati kesal, namun selayaknya ia dikendalikan. Sebab dari sekian banyak ekspresi yang ada dalam keseharian kita manusia, wajah masam inilah yang secara jelas dijadikan ayat-ayat Qur’an. Betapa ia begitu penting untuk dikendalikan. Betapa kemasaman wajah bukanlah yang yang remeh. Dan sebaliknya, betapa pentingnya melatih keramahan dan kelembutan.
Lalu dari mana datangnya keramahan ini?
Dari memandang manusia setara. Bukan dari apa yang tampak dari mereka, melainkan dari apa yang mereka niatkan. Dari ketulusan mereka. Dilepas segala atributnya, para pembesar Quraisy itu sama belaka dengan orang lain. Disisakan niatnya, mereka tak lebih baik dari orang yang buta.