Ada alasan mengapa perintah membaca adalah perintah pertama. Sebab membaca adalah aktivitas untuk mengambil kendali atas pikiran kita. Dan pikiran kita adalah pintu masuk apa-apa yang akan jadi tindakan dan kebiasaan. Hingga pada akhirnya menjadi karakter dan nasib.
Namun bukankah kita selalu membaca? Status media sosial, artikel, iklan, bahkan video pun sejatinya adalah sebentuk bacaan? Mengapa membaca buku jadi perhatian khusus?
Begini ceritanya.
Media sosial memang menyediakan bacaan. Namun media sosial lahir dari rahim kapitalisme yang menghendaki bacaan ringan yang bisa dicerna pikiran tanpa perlu berpikir. Jika ada yang paling mengambil manfaat dari riset-riset ekonomi perilaku, yang berusaha membingkai pesan sedemikian rupa sehingga manusia langsung bertindak tanpa berpikir, itulah media sosial. Ia memang dibuat menarik. Jauh lebih menarik daripada buku yang tebal itu. Karenanya ia hampir tak memiliki isi yang esensial. Sebab yang esensial darinya adalah kepentingannya untuk membuat kita membeli.
Maka makin dinikmati, media sosial memang membuat kita larut dalam dunia tanpa berpikir. Akibatnya, kita makin tak mampu mencerna tulisan-tulisan mendalam yang membutuhkan perenungan mendalam. Karena makin sulit mencerna buku, kita pun menjauhinya. Padahal pada buku yang baik lah terkandung ilmu yang tersusun. Buku yang baik, yang kita baca itu, adalah modal untuk membentuk diri kita, sesuai harapan kita. Dan media sosial mengambil kendali itu, menggantinya dengan kemasan tanpa isi yang membuat kita pokoknya membeli.
Membacalah, wahai diri. Demi kejernihan pikiranmu. Ambil alihlah kembali kendali pikiranmu, melalui bacaan yang bermutu. Buku yang baik itu tak pernah mudah dibaca. Sebab ia memang bertugas untuk merentangkan otot-otot pikiranmu hingga cakrawalanya meluas. Ia kan membuatmu melambat, mengambil jarak dengan rutinitas. Ia selayaknya mengguncang kebiasaanmu untuk bertindak, bahkan menganulir tindakanmu.
Pilihlah buku yang kau butuhkan, bukan sekedar yang mudah kau cerna. Tak ada kemajuan yang lahir dari pilihan-pilihan mudah. Kemajuan hanya terjadi kala kita mau menelaah ruang kosong dalam diri yang menunggu untuk diisi. Dan carilah buku untuk mengisi kekosongan itu.
Dan di Ramadhan ini, bacalah Al Qur’an. Bukan hanya mengaji tulisan Arabnya, mengkajilah maknanya. Bacalah artinya. Carilah tafsirnya. Ada alasan mengapa membaca Al Qur’an itu disebut tadarus. Ia harusnya adalah kegiatan mendaras, mempelajari. Bukan hanya membunyikannya tanpa arti. Ayat Al Qur’an itu petunjuk, bukan jimat. Petunjuk tak lahir hanya semata kala kau baca tanpa memahaminya. Keajaibannya bukan datang dari bunyi yang tiba-tiba mengubah dirimu. Maknanya perlu menempati isi pikiranmu sebelum ia menggerakkan lelakumu. Jika dalam sehari hanya 1 ayat yang sanggup kau renungkan, itu sungguh jauh lebih baik daripada berlembar-lembar yang melewati lisanmu tanpa makna.